FENOMENA PENYEBUTAN NAMA ALLAH VERSUS YAHWEH
A.
LATAR BELAKANG
Akhir-akhir
ini, penyebutan nama Yahweh dan Allah menjadi suatu fenomena, Yang terjadi
dalam gereja khususnya di Indonesia. Hal
ini tentunya sangat mengganggu atau menjadi suatu tanda tanya bagi
jemaat awam dan juga menjadi satu topic perdebatan dalam gereja bahkan dalam
sekolah-sekolah tinggi Theologi. Di
Malaysia Al kitab berbahasa melayu dilarang keras menggunakan
Allah untuk menyebut Tuhan, karena menurut hukum Malaysia, Allah adalah
sesembahan umat Islam. Di Indonesia hampir tidak ada masalah selama ini,
meskipun terkadang terjadi hal yang lucu, misalnya umat islam tidak berani
menyebut Alllah tetapi Alloh, karena kata Allah dipakai di gerja dan
sebaliknya, kaum Kristen nusantara biasanya mengucap Allah daripada Alloh,
meskipun di belahan lain di dunia ini keduanya identik. Di Indonesia ada sekelompok orang Kristen yang tidak mau
menggunakan nama “Allah” untuk sesembahan orang percaya tapi mengganti nama
Allah dalam Alkitab terjemahan Lembaga Alkitab indonesia (LAI) dengan
Eloim (seharusnya: Elohim), nama “TUHAN” dengan Yahweh, nama “Yesus Kristus”
dengan Yesua Hamasiah. . Para tokoh fundamentalis tanah air ini misalnya adalah
Pdt. Yakub Sulistyo, dan Pdt. Suradi, yang intinya adalh
adalah pandangan bahwa Allah adalah dewa Syria kuno, yaitu dewa bulan,
jadi muslim dan orang Kristen yang menyembah Allah adalah menyembah dewa bulan
Syria yang diarabkan. Oleh karena berbagai macam perbedaan pandangan maka perlu
juga kita pahami bahwa pandangan ini tampa memahami evolusi budaya.
B. ALASAN-ALASAN PERGANTIAN NAMA
Alasan-alasan
pergantian nama antara lain:
·
Allah adalah dewa/berhala yang
disembah orang Arab, sebagai dewa air, dewa bulan, dll.
·
Nama “Allah” berasal dari Babilonia
yang menyembah berhala, lalu menyebar ke Arab.
·
Allah adalah nama Tuhannya umat
Islam, bukan umat kristen.
·
Nama diri Tuhan adalah Yahweh,
berarti mengganti namanya dengan “Allah” adalah salah bahkan dianggap menghujat
Yahweh, karena telah mengganti nama-Nya dengan nama dewa atau berhala (I Taw.
16:26). Ini berarti semua kata penyebutan dalam bahasa apapun di dunia untuk
Tuhan [misalnya: “God” (Inggris), Gott (Jerman), Dieu (Perancis), Debata
Mulajadi Na Bolon (Batak), Gusti (Sunda/Jawa)] harus diganti dengan kata Yahweh
atau Elohim, karena nama lain identik dengan nama dewa.
Nama Yahweh harus dimuliakan dan dikuduskan (Kel 20:7, Mat.
6:9), karena nama Yahweh adalah nama Tuhan yang satu-satunya dan turun temurun
(Yes. 42:8, Kel. 3:15, Zach. 14:9).
C.
BEBERAPA PENYEBUTAN NAMA YAHWEH VS ALLAH
v
Dalam Alkitab Ibrani ada tiga nama
utama yang digunakan untuk menunjuk kepada “Allah” ini yang pertama adalah:
1. El/Elohim.
Nama El dan Elohim bisa digunakan sebagai gelar/sebutan/panggilan umum ataupun nama diri, tergantung konteksnya. Mis: Kej. 33:20 “Allah (Elohim) Israel adalah Allah (El). Namun nama El lebih banyak digunakan sebagai “nama diri” Tuhan, sedangkan Elohim lebih banyak digunakan sebagai “sebutan/gelar/panggilan umum”. Nama El juga disejajarkan dengan nama Yahweh. Mis: Ul. 9:5 “Aku, TUHAN (Yahweh), Allahmu (Elohim), adalah Allah (El) yang cemburu; Kej. 28:16-19, dll.
Nama El dan Elohim bisa digunakan sebagai gelar/sebutan/panggilan umum ataupun nama diri, tergantung konteksnya. Mis: Kej. 33:20 “Allah (Elohim) Israel adalah Allah (El). Namun nama El lebih banyak digunakan sebagai “nama diri” Tuhan, sedangkan Elohim lebih banyak digunakan sebagai “sebutan/gelar/panggilan umum”. Nama El juga disejajarkan dengan nama Yahweh. Mis: Ul. 9:5 “Aku, TUHAN (Yahweh), Allahmu (Elohim), adalah Allah (El) yang cemburu; Kej. 28:16-19, dll.
Nama kedua dalam bahasa Ibrani
adalah:
2. YHWH (atau
YHVH) yang disebut dengan istilah: Tetragrammaton. Nama ini baru dikenal Musa
sebagai pribadi yang membawa umat ISRAEL keluar dari Mesir. Kel. 6:1-2
“Akulah TUHAN (Yahweh), Aku telah menampakkan diri kepada Abraham, Ishak dan
Yakub sebagai Allah (El) yang Mahakuasa, tetapi dengan nama-Ku TUHAN (Yahweh),
Aku belum menyatakan diri. (Bnd. Kel. 3:13-14). Jadi pada masa patriakh nama
“El/Elohim”-lah yang digunakan dan baru pada masa Keluaran nama Yahweh
dinyatakan kepada Musa. Dengan demikian pandangan bahwa nama Yahweh adalah nama
satu-satunya dari kekal sampai kekal tidak benar. Lagipula sekalipun nama
Yahweh telah diperkenalkan, ternyata nama El sebagai nama diri masih dipakai
juga bahkan sampai sesudah Pembuangan di Babel sebagai pengganti nama Yahweh
(Yes 40:18; 43:10-12).Nama ketiga dalam bahasa Ibrani adalah:
3. ADONAI,
diterjemahkan sebagai “Tuan” atau “Tuhan” (beda dengan Yahweh yang
diterjemahkan “TUHAN”). Dalam PL sekitar 300 kali Adonai dipakai sebagai kata
di depan Yahweh. Oleh LAI agar tidak menimbulkan pengulangan tidak
diterjemahkan menjadi “Tuhan TUHAN”, tapi “Tuhan ALLAH” (beda penulisan dengan
“Allah” yang merupakan terjemahan dari El/Elohim).Pada abad ke III sM, Eliezer,
Imam Besar Bait Allah di Yerusalem mengutus para ahli kitab Israel ke Mesir
atas undangan raja Ptolomeus Philadelpus untuk menterjemahkan Alkitab PL bahasa
Ibrani ke bahasa YUNANI, yang disebut sebagai Septuaginta (LXX
atau 70). Dalam Septuaginta istilah El/Elohim diterjemahkan menjadi Theos,
dan Yahweh/Adonai menjadiKurios (atau Kyrios). Penggantian nama
dalam penterjemahan itu tidak menjadi masalah bagi orang Yahudi.
Septuaginta
adalah Alkitab yang digunakan oleh Yesus maupun para rasul semasa
mereka hidup. Sebagian besar kutipan PL dalam PB diambil langsung dari
Septuaginta, sekalipun kalimatnya ada yang sedikit berbeda dengan teks Masoret
(Ibrani). Berarti Theos dan Kurios adalah istilah yang mereka pakai untuk
menyebut El/Elohim dan Yahweh. Dan tidak ada bukti ayat dalam Alkitab yang
menunjukkan bahwa mereka keberatan atas penterjemahan itu.
Istilah Theos dan Kurios juga
dipakai oleh para penulis Alkitab Perjanjian Baru (yang
ditulis dalam bahasa Yunani) untuk menulis nama sesembahan mereka..
Di kayu salib Yesus memanggil nama
Bapa-Nya dengan berkata “Eli/Eloi Eli/Eloi lama sabakhtani (Mat.
27:46, Mrk. 15:34). Saat itu Yesus berbicara dalam bahasa dialek lokal Aram,
bukan bahasa Ibrani yang menyebut Tuhan sebagai El/Elohim atau Yahweh. Berarti
memanggil nama El/Elohim dalam bahasa non Ibrani, dianggap wajar oleh Yesus.
Fakta bahwa Tuhan tidak menuliskan
“Nama-Nya” dalam bahasa “Ibrani” saja, menyadarkan kita bahwa rupanyaterjemahan
bahasa merupakan salah satu cara yang Tuhan pakai untuk
menyebarluaskan firman-Nya. Tampaknya tidak ada satu bahasa pun yang dipilih
Tuhan sebagai bahasa resmi sorgawi, mungkin dengan maksud agar bahasa tidak
diperdewakan (bibliolatry).
Berbeda dengan Yudaisme yang bersifat
sentripetal (memusat) ke Yerusalem dan bangsa/ bahasa Ibrani atau Islam ke
Mekah dan bangsa/bahasa Arab; Kekristenan bersifat sentrifugal
(menyebar) sesuai Amanat Agung Penginjilan (Mat. 28:19). Jadi Kabar
Baik diberitakan bukan sebagai monopoli bangsa Yahudi dengan bahasa Ibraninya
tetapi sebagai milik bangsa-bangsa lain juga. Bandingkan: Yohanes menyebut
Yesus sebagai Logos (Yoh. 1:1) istilah Yunani yang dikenal waktu itu sebagai
“ide/hikmat tertinggi dari sang Pencipta” ataupun Paulus yang memperkenalkan
Allah Monotheisme (Sang Pencipta) kepada orang Athena dengan menggunakan jalan
masuk “Allah yang tidak dikenal” (Kis. 17:23) secara kontekstual. Paulus
menggunakan istilah atau nama yang ada, kemudian memberikan pemahaman isi yang
baru terhadap istilah atau nama tersebut.
Pada hari Pentakosta yaitu “hari
kelahiran gereja”, firman Tuhan yang diucapkan oleh para rasul malah diterjemahkan
ke berbagai bahasa oleh Roh Kudus! (Kis.2:1-13). Pada saat itu pun
orang Arab sudah ada yang menjadi Kristen (ay. 11) dan mendengar firman dalam
bahasa Arab tentunya.
Alkitab
terjemahan Aram-Siria yang disebut “Peshita” menggunakan nama
“Alaha”, yang merupakan perkembangan penyebutan nama El ke dialek
Aram-Siria. Penemuannya yang tertua berasal dari awal abad V (dua abad sebelum
masa Islam). Penggunaan kata Alaha dalam jemaat Gereja Orthodox Siria kuno
sudah terjadi lama sekali dan tidak terpengaruh budaya kafir ‘Jahiliyyah’ yang
berpengaruh di sekitar Mekah. Inskripsi Ummul Jimmal pada pertengahan abad ke 6
membuktikan di sekitar Siria nama Allah disembah dengan konsep yang benar.
Inskripsi itu diawali dengan ungkapan Allah ghafran (Allah mengampuni).
v
Alkitab Arab menggunakan nama Allah sebagai
perkembangan penyebutan nama El ke dialek bahasa Arab.
·
Istilah “Allah” berasal dari
kata “al-illah”. Al = “the” dalam bahasa Inggris, illah = Tuhan. Jadi artinya:
Tuhan yang Satu. Nama “Allah” ini telah dikenal dan dipakai sebelum Al-Quran
diwahyukan. Kata ini tidak hanya khusus bagi Islam saja, melainkan juga
merupakan nama yang oleh umat Kristen yang berbahasa Arab dari gereja-gereja
Timur digunakan untuk memanggil Tuhan.
·
Perlu diingat nama “El” yang
dipanggil Abraham adalah juga nama Tuhan yang dipanggil oleh Hagar, ibu Ismael
(Kej. 16:13) yang kemudian menurunkan bangsa Arab dan agama Islam. Allah
monotheis Abraham “El” ini yang kemudian dipercaya oleh nenek moyang bangsa
Arab dan kemudian berkembang dalam dialek Arab sebagai “Allah”.
·
Spencer Trimingham dalam bukunya
Christianity Among the Arabs in the Pre-Islamic Tunes (1997:74) membuktikan
bahwa pada tahun yang sama dengan diselenggarakannya konsili Efesus (tahun
431), wilayah suku Arab telah mempunyai uskup Kristen bernama Abdelos, yang
merupakan pe-Yunanian dari nama Arab “Abdullah” yang artinya “hamba Allah”.
·
Encyclopaedia Britannica mencatat: Allah (arabic:
“God”), the one and only God in the religion of Islam. Etymologically, the name
Allah is probably a contraction of the Arabic al-Ilah, “the God”. The name’s
origin can be traced back to the earliest Semitic writings in which the word
for god was Il or El, the latter being an Old Testament synonim for Yahweh.
Allah is the standart Arabic word for “god” and is used by Arab Christians as
well as by Muslims.
Mengenai banyaknya umat Islam
Indonesia yang mengira bahwa istilah “Allah” itu khusus Islam,
cendikiawan Muslim: Dr. Nucholis Majid mengingatkan bahwa claim itu
bertentangan dengan Qur’an sendiri (Qur’an 12:106) juga bertentangan dengan
kenyataan bahwa dari dahulu sampai sekrang di kalangan bangsa arab terdapat
kelompok-kelompok non-Islam, yaitu Yahudi dan Kristen dan mereka juga menyebut
Allah. Jadi nama Allah bukanlah monopoli milik orang Arab masa Jahiliyyah
ataupun orang Islam, karena berasal dari kata El/Elohim yang sudah ada jauh
sebelum masa Jahiliyyah dan masa Islam. Tahun 1982 pemerintah Malaysia melarang
orang bukan Islam menggunakan kata Allah dan beberapa kata Arab lainnya. Tapi
sebetulnya kelompok yang telah membujuk pemerintah Malaysia untuk melakukan
tindakan itu sebenarnya jahil terhadap agamanya sendiri karena tidak melakukan
pendalaman dengan seksama.
Adapun nama “Allah” itu merosot pada
zaman Jahiliyyah dan dipakai untuk menyebut dewa air Arab bisa saja terjadi,
namun tetap ada orang Arab (yang disebut kaum hanif atau hunafa) yang mengacu
pada nama dalam pengertiannya yang semula yaitu keyakinan monotheisme zaman
kuno yang berpangkal pada ajaran Ibrahim dan Ismail. Karena itulah pengertian
Allah dalam agama Islam merupakan pemulihan kembali (restorasi) tentang konsep
Allah yang telah merosot pada masa jahiliyyah itu.
Sebenarnya kemerosotan pengertian
akan nama El/Elohim juga pernah terjadi dalam sejarah Israel, karena dipahami
sebagai dewa Kanaan yang bernama Baal (Hak. 8:33, 1 Raj 10:18,
Yer. 2:8). Bahkan patung anak lembu emas yang disembah Israel
waktu Musa naik ke gunung Sinai juga dinamakan Elohim dan Yahweh. “Mari buatlah
untuk kami allah (elohim) … Hai Israel, inilah Allah (Elohim)mu … Berserulah
Harun, katanya: Besok hari raya bagi TUHAN (Yahweh)!” (Kel. 32:1-5). Dengan
demikian seseorang yang menggunakan nama Yahweh tidak otomatis tertuju kepada
pribadi YHWH, sebaliknya yang menyebut “El” yang dalam dialek Arab disebut
“Allah” ternyata tertuju kepada YHWH.
Berkaitan dengan pandangan bahwa
nama sesembahan tertinggi itu tidak boleh diganti atau diterjemahkan, maka
secara harfiah nama YHWH itu sulit diucapkan karena terdiri
dari 4 huruf mati (konsonan), sehingga ada yang menyebutnya Yahwe, Yahweh,
Yehowah, Jehovah, Yehuwa dll. Sebetulnya tidak ada yang tahu bagaimana
melafalkannya dengan tepat, karena kita tidak tahu huruf hidup (vocal) apa yang
harus disandingkan bagi YHWH itu. Jadi yang harus dipertahankan dalam hubungan
dengan nama maupun sebutan bukanlah ucapan huruf-huruf itu melainkan hakikat
dari YHWH (tetragramatton) itu sendiri.
D.
PENUTUP
Dari beberapa pandangan diatas dapat
ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Tujuan sekelompok orang yang katanya ingin menjaga kemurnian
nama sesembahan orang Kristen itu ternyata telah menimbulkan dampak konflik
intern yang menjurus kepada perpecahan. Sangat memprihatinkan kalau
di satu gereja orang berdoa, “Kami usir roh Allah”, sedangkan di gereja lain
umat berdoa, “Penuhi kami dengan Roh Allah”. Apakah ini tidak mengoyak tubuh
Kristus? Akibatnya akan muncul jemaat sempalan yang membentuk gereja baru
karena pemahaman yang kurang luas tentang teologi dan perkembangan latar
belakang budaya serta bahasa.
Sejauh ini di Indonesia belum pernah
ada kasus konflik melibatkan Islam-Kristen yang dipicu
persoalan nama Allah. Sebaliknya bila kita menyebut nama Allah sebagai dewa air
atau dewa bulan yang disembah orang Arab dan Islam, bukankah itu merupakan
penyebar ketidakbenaran yang bisa mengakibatkan pertikaian? Bagi Islam sendiri
bulan tidak dianggap sebagai Tuhan, lambang bulan hanyalah sebagai petunjuk
ritme waktu (kalender lunar). Sebenarnya masalah nama Allah di Indonesia justru
banyak ditimbul-kan oleh kalangan Kristen sendiri, misalnya dengan munculnya
tulisan yang cenderung menyudutkan dan merendahkan arti kata “Allah” itu
menjadi sekedar nama dewa Arab.
Gereja perlu bersatu untuk
melaksanakan hal yang lebih positif seperti melaksanakan Amanat Agung
Yesusdaripada meributkan masalah yang sebetulnya tidak terlalu esensial
seperti cara melafalkan nama sesembahan orang percaya dengan benar.
Perlu diketahui kelompok pengagung
nama Yahweh ini telah mengedarkan Alkitab sendiri, yang sebenarnya secara tidak
etis melakukan tindakan plagiat yaitu dengan cara menggunakan
tanpa ijin karya terjemahan LAI (yang dikerjakan oleh puluhan ahli teologi dan bahasa
yang mewakili mayoritas aliran gereja dan melibatkan dana besar) dan mengganti
beberapa istilah dalam Alkitab itu. Adalah gegabah bila satu orang atau
kelompok yang tidak belajar teologi formal mau menggantikan kerja tim ahli itu
dan menganggap karyanya sendiri paling benar dan karya yang lain itu salah.
Janganlah kita mencampur-adukkan
pengertian bahasa (linguistik) dengan pengertian teologi
(dogmatik/ aqidah).
·
Bahasa itu selalu mengalami
perkembangan bentuk dan arti. Bahkan bahasa Ibrani pernah menjadi bahasa “mati”
(bahasa tulisan) yang hanya digunakan dalam penulisan sastra/kitab suci saja.
Pada masa Yesus hidup, bahasa Aram-lah yang digunakan sehari-hari. Baru dalam
dua abad terakhir ini bahasa Ibrani menjadi bahasa modern yang “hidup” kembali
dalam percakapan sehari-hari.
·
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
dalam bahasa Indonesia terdapat 1.495 kosa kata bahasa Arab, 1.610 bahasa
Inggris, dan 3.280 bahasa Belanda yang kemudian menjadi kata-kata bahasa
Indonesia. Kata Allah termasuk yang menjadi kosa-kata bahasa Indonesia yang
berasal dari bahasa Arab. Karena itu penggunaan kata Allah untuk menyebut
El/Elohim dalam PL dan Theos dalam PB adalah tepat.
·
Kecenderungan sebagian orang Kristen
di Indonesia selama ini untuk menghindari penggunaan kata-kata Arab tertentu
dan sebagai gantinya mencari kata-kata non-Arab memperlihatkan lemahnya
pemahaman tentang bahasa sebagai sebuah alat komunikasi yang seharusnya semakin
membawa manusia hidup berdampingan secara damai dan bukannya malah semakin
merenggangkan relasi-relasi kemanusiaan.
Kita harus mengingat upaya kelompok Saksi
Yehuwa yang dari dulu dengan gigih mempertahankan nama YHWH. Jangan
sampai mereka mendapat keuntungan dalam penyebaran kepercayaannya gara-gara
soal penyebutan nama Allah ini.
Umat Kristen di Indonesia sejak abad
XVI telah menggunakan nama Allah dalam terjemahan Alkitab. Dalamterjemahan
bahasa Melayu dan Indonesia, kata “Allah” sudah digunakan terus
menerus sejak terbitan Injil Matius dalam bahasa Melayu yang pertama
(terjemahan Albert Corneliz Ruyl, 1629). Begitu juga dalam Alkitab Melayu yang
pertama (terjemahan Melchior Leijdekker, 1733) dan Alkitab Melayu yang kedua
(terjemahan Hillebrandus Cornelius Klinkert, 1879) sampai saat ini.
Gereja Tuhan di Indonesia telah
berkembang dan diberkati sejak abad XVI
walaupun menggunakan nama Allah. Memang ada tuduhan bahwa Tuhan telah menghukum
gereja di Indonesia dengan banyaknya gedung yang dibakar, ditutup dsb. Tapi
peristiwa itu terjadi karena isu kristenisasi dan sama sekali bukan karena penyebutan
nama Allah.
Kita harus waspada karena di akhir
zaman akan muncul berbagai pengajaran baru yang kelihatannya
menarik tapi membingungkan dan tidak Alkitabiah. Seperti: Penginjilan kepada
arwah orang mati, penginjilan kepada setan, penafsiran tentang hari kedatangan
Tuhan, orang yang jatuh dalam dosa harus ditahirkan dalam air berulang-ulang
seperti Naaman, tidak merayakan Natal karena dianggap warisan budaya kafir yang
menyembah dewa matahari, kontroversi penggunaan nama Allah yang dianggap
menyembah dewa air atau dewa bulan dll. Ingat pesan Paulus kepada Timotius
dalam II Tim. 4:2-5; I Tim 4.
Menurut Olaf Schumann, beberapa ciri
bidat (yaitu aliran yang dianggap menyimpang dari ajaran resmi atau
ajaran yang umum dianut mayoritas pemeluk) antara lain:
·
Pengkultusan individu para
tokohnya, yang biasanya pendapatnya bertentangan dengan arus utama.
·
Bersifat elitis dan eksklusif. Sikap
yang menganggap keyakinannya paling benar dan yang berada di luar itu tidak
benar.
·
Kecaman takabur kepada gereja. Dalam
kontroversi nama Allah dikatakan: “Kalau menggunakan nama Allah berarti
menghujat Yahwe; LAI singkatan: Lembaga Alat Iblis; pengikut yang berdoa kepada
Allah sebagai pengikut Allah setan”.
·
Mempraktikkan Taurat baru.
·
Fanatisme Yudaisme. Mengagungkan
bahasa Ibrani bahkan mengubah nama diri mereka dengan nama “Ibrani”.
·
Motivasinya dipertanyakan. Cenderung
menimbulkan kebingungan, pertentangan dan perpecahan.
Bapa Sorgawi tahu hati manusia yang menyembah-Nya dengan menyebut Allah Abraham,
Ishak dan Yakub, tanpa membayangkan menyembah dewa. Bapa tidak menganggap itu
menghujat Dia karena Bapa melihat hati yang mengasihi pribadi-Nya bukan hanya
karena soal pelafalan nama-Nya. Sebaliknya memakai nama Yahweh atau El/Elohim
tanpa menghormati Pribadinya sama dengan mencemarkan nama-Nya. Seperti Israel
yang menyebut El/Elohim atau Yahweh tapi tidak hidup menurut jalan-jalanNya
sehingga Allah merasa jemu dan jijik akan korban bakaran mereka bahkan kemudian
mereka dihukum oleh Dia.
Akhirnya mari kita menyimak
perkataan rasul Paulus dalam I Kor. 8:4-6 “Tidak ada berhala di dunia dan tidak
ada Allah lain dari pada Allah yang esa.” Sebab sungguhpun ada apa yang disebut
“allah” bai di sorga maupun di bumi – dan memang benar ada banyak “allah” dan
banyak “tuhan” yang demikian – namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu
Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup,
dan satu Tuhan saja yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala
sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidu
Artikel apaan. Gak jelas
BalasHapus