I.
Pendahuluan
Perdebatan
mengenai kehendak bebas(Free Will)
adalah suatu perbincangan yang cukup sengit dibicarakan dalam kurung waktu yang
cukup lama. Calvin, Luther, bahkan Bernard of Clairvaux dan Agustinus juga
pernah membahas hal ini. Mengapa pemahaman mengenai kehendak bebas merupakan
sesuatu sering diperdebatkan? Menurut Leahy, “Manusia tidak dapat tidak
berkehendak. Dia adalah makhluk yang secara esensial berkehendak.”
Jika kehendak merupakan sesuatu yang secara esensial “ada” dalam natur
kemanusiaan, maka bahasan mengenai kehendak bebas juga merupakan pembahasan
mengenai esensi dan jati diri manusia itu sendiri. Permasalahannya ialah apakah
kehendak kita itu benar-benar adalah kehendak yang bebas? Mungkinkah kita
berkehendak namun kehendak kita itu selalu adalah kehendak yang dikondisikan
atau diatur? Jika kehendak kita itu diluar kontrol kita atau bukan bebas secara
murni maka apakah tepat jika kita harus bertanggungjawab atas hasil perbuatan
dari kehendak kita? Pertanyaan seperti ini seringkali muncul dalam diri manusia
dan menjadikan perdebatan yang berkepanjangan dan hasil yang berbeda-beda
diantara para tokoh dan teolog. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis
tidak ingin secara langsung memastikan diri atau berpegang kepada satu
pandangan, namun penulis ingin mencoba menelusuri pemahaman tentang kehendak
bebas di dalam pemikiran tiga tokoh besar kekristenan, yaitu Agustinus, Luther,
dan Calvin.
II.
Pemahaman
Umum mengenai Kehendak Bebas
Kehendak
bebas merupakan sesuatu hal yang menarik untuk diperbincangkan, bukan hanya
oleh di kalangan akademisi teologi namun juga dalam ranah filsafat dan sosial.
Dalam buku Four Views on Free Will,
beberapa tokoh seperti John Martin Fischer, Robert Kane, Derk Pereboom, dan
Manuel Vargas mencoba mengajukan beberapa pandangan mengenai kehendak bebas
manusia, antara lain: Libertarianism,
Compatibilism, Hard Compatibilism, dan
Revisionism.
Dalam ranah neurology, Nancey Murphy dan beberapa tokoh neuroscience dan mathematics juga mencoba merumuskan konsep kehendak bebas
dalam buku Downward Causation and the
Neurobiology of Free Will.
Dalam hal ini dapat dilihat bahwa banyak pandangan yang muncul dalam memahami
kehendak bebas dan telah mencoba mengkaitkannya secara filosofis, matematis,
maupun biologis. Oleh karena itu, dalam bagian ini penulis tidak berusaha untuk
mencoba masuk dalam perdebatan rumit di dalamnya, akan tetapi penulis akan
mencoba melihat makna kehendak bebas secara epistemologi umum. Secara epistemologi,
kata kehendak memiliki persamaan makna dengan kata kemauan, keinginan, atau
harapan yang keras.
Sedangkan menurut Oxford Advanced
Learner’s Encyclopedic Dictionary, kata kehendak atau will memiliki makna “mental power by which a person can direct his
thought and actions or influence those of others, strong desire.” Dari
dua pemahaman ini bisa dikatakan bahwa kehendak berhubungan erat dengan
keinginan yang terdalam dari manusia. Di dalam proses berkehendak ini
menyangkut kesadaran berpikir, perasaan, dan juga tindakan seseorang yang
berkehendak tersebut.
Jika kehendak dikatakan sebagai sesuatu yang menyangkut
kesadaran berpikir, perasaan, dan juga tindakan. Maka kata bebas dalam
hubungannya dengan kata kehendak bisa dimaknai sebagai sesuatu yang tidak
terikat,
sebuah kondisi atau state of being unrestricted in one’s actions.
Dalam hal ini, maka bisa disimpulkan bahwa kehendak yang
dikatakan bebas adalah kehendak yang tidak terikat atau dibatasi oleh sesuatu
di dalam pemikiran, perasaan, dan keputusannya untuk bertindak. Oleh karena
itu, konsep kehendak bebas ini sangat dekat dengan pembahasan mengenai etika
hidup dan bagaimana manusia dalam kebebasan berkehendaknya mampu untuk
bertanggungjawab atas tiap keputusan dan tindakannya. A.M. Farrer, yang dikutip
dalam A New Dictionary of Christian
Ethics, menyatakan bahwa “Freewill is a postulate of moral life”.
Permasalahan dalam diskusi mengenai kehendak bebas yang paling utama adalah
permasalahan mengenai tanggungjawab manusia dalam tiap tindakan. Beberapa
kelompok melihat bahwa manusia memiliki kehendak bebas dan oleh karenanya tiap
orang bertanggungjawab atas akibat dari setiap tindakan yang diambil (Libertarianism).
Sedangkan beberapa kelompok melihat bahwa manusia selalu di-determinate oleh beberapa faktor dalam
kehidupan sehingga mereka tidak benar-benar memiliki kehendak bebas, sehingga
seharusnya tidak ada tanggungjawab dalam setiap tindakan manusia karena
keputusan yang diambil sudah ditetapkan sebelum keputusan itu dibuat di dalam
diri orang tersebut (Determinism/Hard
Compatibilism).
Dalam hal ini, terlihat jelas bagaimana perdebatan mengenai kehendak bebas
bukan hanya bersangkutan erat dengan esensi dari kemanusiaan itu sendiri, namun
juga berkaitan dengan praktis kehidupan moral. Berbicara mengenai manusia dan
kehidupan moral bukan hanya menjadi masalah filsafat atau ilmu sosial, namun
juga menjadi konsen dari teologi sebagai ilmu yang mencoba menjelaskan mengenai
Allah dan manusia serta segala hubungannya, termasuk di dalamnya mengenai
kehidupan. Oleh karena itu, bagaimana posisi teologi dalam memahami kehendak
bebas? Bagaimana kehendak bebas ini dilihat dari kacamata kedaulatan Allah,
kemahatahuan Allah, dan rencana Allah yang sempurna dalam kehidupan manusia?
III.
Pandangan
Agustinus mengenai Kehendak Bebas manusia
Agustinus
merupakan seorang bishop dari Hippo yang lahir pada tahun 354 dan meninggal
tahun 430 M. Dibesarkan dalam tradisi filsafat Cicero dan Aristoteles, kemudian
beralih pada Plato menghadirkan pola berpikir dan argumentasi filsafat yang
mendalam, sehingga banyak tokoh menyebut bahwa Agustinus sedang membangun
teologi Kristen yang platonis (Platonizing
Christianity).
Nuansa Platonis bukan hanya muncul dalam alam berpikir namun juga dalam cara
pembahasan mengenai teologi, dalam buku On
the Free Choice of the Will, Augustinus menggunakan metode dialog Plato
dalam tulisannya untuk menjelaskan mengenai kehendak bebas manusia. Dalam
pemikiran mengenai kehendak bebas, Agustinus menekankan di awal bahwa Allah
adalah pencipta dan penyebab dari segala sesuatu yang ada di dunia, meskipun
demikian Allah bukanlah pencipta atau penyebab dosa.
Dalam bagian ini, Agustinus mencoba mempertahankan kenyataan bahwa dosa yang
dilakukan manusia bukan disebabkan karena Allah. Dalam percakapan dengan
Evodius, Agustinus mempertahankan tuduhan Evodius dimana manusia tidak mungkin
belajar sesuatu tanpa ada seseorang yang mengajarinya, oleh karena itu manusia
tidak mungkin belajar tentang dosa tanpa ada yang mengajarkan kepadanya tentang
dosa. Dalam hal ini, Agustinus menyanggah dengan memperlihatkan bahwa sesuatu
yang diajar adalah sesuatu yang dianggap baik oleh Evodius, dan jika demikian
maka tidak mungkin dosa yang bersifat buruk adalah sesuatu yang diajarkan.
Dari perdebatan ini, Agustinus melihat bahwa kehendak bebas manusia itu adalah
sesuatu yang ada dan disadari sebab secara natur manusia adalah binatang yang
berpikir dan rasional, oleh karena itu, ketika hasrat itu muncul dan bertemu
dengan pengetahuan dan rasio maka di dalamnya tercipta sebuah pilihan atau
pertimbangan dan ketika pilihan itu diambil maka kehendak bebas manusia untuk
memilih secara sadar juga berjalan selaras dengan hasrat dan rasionya.
Secara gamblang Agustinus menyatakan, “We have established that what each person
elects to pursue and embrace is located in the will, and that the mind is not
thrown down from its stronghold of dominance, and from the right order, by
anything but the will.”
Dalam hal ini, kehendak bebas manusia merupakan hal yang esensial dalam setiap
keputusan dan tingkah laku manusia.
Dalam
pemahaman bahwa manusia secara natur diberi oleh Allah sebuah kemampuan untuk
berkehendak secara bebas. Kemampuan untuk berkehendak sesungguhnya diberikan
untuk manusia dapat bertindak dan memilih yang baik, akan tetapi dalam
kenyataannya kemampuan untuk berkehendak juga penyebab munculnya kejahatan.
Agustinus menegaskan “… free will had been given not only for living rightly but
also for sinning.” Dalam
hal ini, Agustinus memahami bahwa kehendak manusia itu selalu bersifat bebas
terhadap pilihan-pilihan yang ada. Sehingga jika pilihan itu tidak ada atau
hanya ada satu pilihan maka sesungguhnya itu bukan pilihan, dan secara tidak
langsung meniadakan kehendak bebas. Oleh karena itu, kehendak bebas menurut Agustinus
selalu berjalan beriringan dengan adanya pilihan. Meskipun demikian, Agustinus
juga menyadari bahwa dosa bukan sekedar bagian dari pilihan namun telah menjadi
natur manusia yang terus merusak. Oleh karena itu, dalam konsep manusia yang
berdosa kehendak bebas tidak bisa dikatakan murni bebas. Dalam buku The Enchiridion, yang dikutip oleh
Peterson, Agustinus menyatakan bahwa setelah kejatuhan Adam dalam dosa,
kehendak bebas manusia diperbudak oleh dosa.
Sehingga segala kehendak dan tindakan dari manusia adalah kehendak dan tindakan
dalam keberdosaan. Dalam pembahasaan yang lain, McGrath menyatakan bahwa menurut Agustinus kehendak bebas manusia telah
dilemahkan dan dijadikan tidak memiliki kemampuan untuk melawan dosa, atau
dengan kata lain didistorsi oleh dosa. Sehingga
bisa dikatakan bahwa kemampuan kita berkehendak tidak sama dengan kemampuan
Adam sebelum jatuh dalam dosa. Dalam hal ini, Agustinus menunjukkan hubungan
kehendak bebas manusia di dalam relasinya dengan konsep dosa asal.
Konsep
kehendak bebas juga seringkali dikaitkan dengan permasalahan mengenai
kemahatahuan Allah. Argumentasi yang seringkali muncul adalah jika Allah maha
tahu berarti Allah tahu bahwa Adam akan berbuat dosa, dan jika Allah tahu Adam
akan berbuat dosa mengapa Allah tidak mencegah Adam berbuat dosa atau mengapa
Allah tidak menghilangkan saja pohon pengetahuan yang baik dan jahat agar Adam
tidak berdosa? Jika Allah tahu dan Allah membiarkan Adam berbuat dosa maka
sesungguhnya Allah menginginkan keberdosaan Adam. Atau disisi lain, Jika
kehendak bebas itu ada dan manusia bebas memilih. Maka tentu Adam bebas memilih
untuk berbuat dosa atau untuk taat. Jika demikian sampai dibatas mana
pengetahuan Allah terhadap kehendak bebas manusia itu? Apakah hanya sampai
batas kemungkinan atau Allah tahu apa yang pasti terjadi? Argumentasi ini terus
menerus coba diperbincangkan.
Untuk
menjawab permasalahan mengenai kemahatahuan Allah dan kehendak bebas manusia,
Agustinus mendasarkan argumentasinya bahwa segala kebenaran adalah kebenaran
Allah, dan kebenaran itu adalah Allah itu sendiri. Dalam hal ini, Agustinus
melihat bahwa kebenaran tertinggi adalah kebenaran yang tidak berubah dan
kekal, dan yang mampu memenuhi kriteria itu hanyalah Allah.
Jika Allah adalah kebenaran yang tidak berubah maka pengetahuan Allah
seharusnya adalah pengetahuan yang benar. Oleh karena hasil dari pengetahuan
Allah akan sesuatu yang terjadi di masa depan bersifat Pasti. Agustinus
menyatakan bahwa “God has foreknowledge of everything that will happen”.
Jika demikian apakah Allah mengetahui bahwa manusia akan jatuh dalam dosa? Jika
demikian Allah secara sengaja membiarkan manusia jatuh dalam dosa? Berarti
kejatuhan manusia dalam dosa ada andil Allah yang sudah tahu sebelumnya dan
membiarkan manusia memilih dosa? Berarti pilihan manusia tidak bebas dan sudah
ditentukan Allah bahwa itu akan terjadi sebelum tindakan manusia untuk memilih.
Untuk menjawab argumentasi ini, seperti yang dikutip Hopkins, Agustinus
menyatakan
“God has foreknowledge
of our will, so that of which he has foreknowledge must come to pass. In other
words, we shall exercise our wills in the future because he has foreknowledge that
we shall do so; and there can be no will or voluntary action unless it be in
our power.”
Dalam
hal ini, tidak bisa dikatakan bahwa kita tidak memiliki kehendak bebas, sebab
pengetahuan Allah akan apa yang manusia pilih, baik itu pilihan yang baik
maupun yang buruk semua itu diketahui Allah secara pasti dan semua itu pasti
terjadi tanpa menghilangkan kemampuan kehendak bebas manusia untuk memilih.
Dalam bagian ini Agustinus mencoba memisahkan antara kemampuan untuk
berkehendak dengan tindakan dari kehendak itu sendiri. Kesalahan yang sering
terjadi ialah seringkali beberapa pihak berpikir bahwa jika manusia belum ada
maka tindakan manusia dalam berkehendak belum ada sehingga jika Allah tahu
bahwa manusia akan melakukan sesuatu dan pengetahuan itu bersifat pasti maka
sebenarnya Allah sendiri yang telah menetapkan kejadian itu dan bukan kehendak
manusia. Dalam hal ini, Agustinus melihat kehendak bebas adalah kehendak yang
di dalam kemampuan manusia secara sadar memilih untuk melakukan sesuatu.
Sehingga, meski Allah tahu bahwa manusia pasti berdosa, bukan berarti Allah
mengubah kemampuan manusia untuk secara sadar memilih, namun sebaliknya Allah
mengetahui kecenderungan pilihan manusia secara pasti, yang di dalamnya manusia
secara total mengambil pilihan itu secara sadar dan tanpa paksaan. Sehingga
ketika manusia jatuh dalam dosa, Allah secara pasti mengetahui itu meskipun
Allah sesungguhnya tidak menginginkan itu terjadi. Dalam hal ini, maka tidak
salah jika Paulus menyatakan dalam Roma 3:25 bahwa “Kristus Yesus telah
ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya. Hal ini
dibuat-Nya untuk menunjukkan keadilan-Nya, karena Ia telah membiarkan dosa-dosa
yang telah terjadi dahulu pada masa kesabaran-Nya.” Selaras dengan ini, Petrus
juga menunjukkan bahwa Kristus telah dipilih, bahkan sebelum dunia dijadikan,
untuk menjadi penebus dosa manusia(1 Pet 1:18-20). Dari beberapa ayat ini, bisa dikatakan bahwa
pengetahuan Allah akan masa depan bersifat pasti. Meskipun demikian, kembali perlu
ditekankan bahwa meskipun pengetahuan Allah bersifat pasti bukan berarti Allah
menginginkan dosa dan menyebabkan manusia berdosa, keberdosaan manusia terjadi
karena pilihan yang manusia pilih dalam kemampuannya berkehendak secara bebas.
IV.
Pandangan
Luther mengenai Kehendak Bebas manusia
Perdebatan
mengenai kehendak bebas juga muncul dalam masa Luther, dimana Luther berhadapan
dengan Erasmus yang memegang paham bahwa manusia memiliki kehendak bebas yang
sebebas-bebasnya dan dapat memilih untuk melakukan sesuatu atau tidak, untuk
menerima Kristus atau menolak. Dalam hal ini, Luther menggunakan landasan
berpikir Agustinus mengenai kehendak bebas. Bagi Luther kehendak bebas dalam
adalah kebebasan untuk memilih tapi bukan kemampuan untuk berkehendak,
alasannya karena Luther membedakan kehendak bebas dalam dua definisi dengan
mengutip konsep Pelagius yang menjadi landasan argumentasi Erasmus, dengan
menyatakan “The Pelagians divide free will into two parts, the power of discernment
and the power of choice, attributing the one to reason, and the other to will.”
Dalam hal ini, Luther melihat bahwa manusia memiliki dua kemampuan yaitu
kemampuan untuk berkecenderungan yang berhubungan dengan natur dari reason dan juga kemampuan untuk memilih
yang berhubungan dengan kehendak. Dalam hal ini, Luther menggambarkan kehendak
bebas manusia itu seperti binatang tunggangan, Luther menyatakan
“Thus the human
will is like a beast of burden. If God rides it, it wills and goes whence God
wills; …. If Satan rides, it wills and goes where Satan wills. Nor may it
choose to which rider it will run, nor which it will seek. But the riders
themselves contend who shall have and hold it.”
Dalam
bagian ini jelas menunjukkan bahwa binatang itu punya kemampuan untuk bertindak
dan memilih tindakannya hanya saja tindakannya itu adalah hasil dari
kecenderungan siapa yang memerintahnya. Dalam hal ini, Luther mengakui bahwa
kehendak bebas bukan berarti sebuah kebebasan yang tak bertuan, namun seperti
Agustinus katakan bahwa kehendak bebas itu diberikan untuk manusia dapat
memilih apa yang Allah pilih. Dengan tegas Luther menyatakan “However, with
regard to God, and in all things pertaining to salvation or damnation, man has
no free will, but is a captive, servant and bondslave, either to the will of
God, or to the will of Satan.” Oleh
karena itu, Luther menekankan bahwa ketika kehendak bebas manusia ini dikuasai
oleh dosa maka manusia tidak dapat berbuat sesuatu yang baik untuk keselamatan
kekal. Dalam hal ini, Luther kemudian menekankan mengenai keagungan Salib
Kristus dan Anugerah Allah terhadap keselamatan, Luther menyatakan “And
therefore since death, the cross and all the evils of the world are numbered
among the works of God that lead to salvation, the human will can will its own
death and perdition.“
Hanya melalui kematian Kristus dan karya Kristus saja manusia dapat mencapai
keselamatan, sebab keinginan manusia hanya mendatangkan kematian dan kehancuran
semata, karena keinginan manusia sudah rusak oleh dosa. Meskipun demikian,
Luther tidak mengingkari bahwa manusia dapat memiliki kehendak yang baik dan
melakukan sesuatu yang baik, hanya saja apa yang baik dan yang dikehendaki baik
ini tidak memiliki hubungan dengan keselamatan namun hanya kebaikan secara
moral. Mengenai hal ini Luther menyatakan “The supreme concern of free will is
to exercise itself in moral righteousness, or the works of that law by which
its blindness and impotency derive their assistance.”
Meskipun demikian, Luther tetap menekankan bahwa manusia tidak bisa selamat
hanya dengan mengerjakan kebenaran moral semata, oleh karena itu diperlukan
sesuatu yang lebih besar untuk memenuhi tuntutan Tuhan, dan jawabannya adalah
Salib Kristus. Lalu bagaimana pandangan Luther mengenai kehendak bebas manusia
sebelum kejatuhan Adam?
Mengenai
kehendak bebas manusia sebelum kejatuhan, Luther menyatakan,
“By Scriptures
being obscure, nothing certain ever has been or could be defined concerning
free will. This is according to your own testimony. In the lives of all the men
from the beginning of the world, nothing has ever been disclosed to favor free
will.”
Hal
ini menunjukkan bahwa Alkitab secara konsisten memperlihatkan bahwa kehendak
bebas manusia selalu dihubungkan dengan kemampuan untuk taat kepada rencana
Allah, dan oleh karenanya kehendak bebas manusia tidak bisa dipahami sebagai
kebebasan tanpa aturan. Dalam penciptaan Allah dengan jelas menunjukkan bahwa
manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah untuk menjadi pekerja Allah
dan untuk menyatakan kemuliaan Allah (Kej 1:26-28). Dalam hal ini, bisa
dikatakan bahwa kehendak bebas manusia adalah kehendak untuk memilih hidup
dalam kebebasan untuk taat kepada Allah. Oleh karena itu, ketika Adam jatuh
dalam dosa dan ia menjual kehendak bebasnya kepada ular, maka ia harus bertanggungjawab
kepada Allah. Lalu apakah Allah tahu bahwa Adam akan jatuh dalam dosa sebelum
Allah menciptakan Adam? Jika Allah tahu apakah berarti Allah menetapkan Adam
untuk jatuh dalam dosa? Dalam hal ini Luther menyatakan
“It is then
essentially necessary and wholesome for Christians to know that God foreknows
nothing contingently, but that he foresees, purposes and does all things
according to His immutable, eternal and infallible will.”
Pengetahuan
Allah bukanlah sebuah kemungkinan namun Allah meramalkan dalam ketidak
berubahanNya, kekekalan, dan ketidak bersalahan kehendakNya. Dan meskipun Allah
meramalkan bukan berarti Allah menetapkan bahwa Adam dalam keinginannya
diwajibkan Allah untuk berdosa. Pilihan Adam untuk berdosa tidak diakibatkan
karena ramalan Allah, namun ramalan Allah muncul karena kemahatahuan Allah
bahkan sebelum Adam melakukan pilihannya. Sebagai kesimpulan, Luther menegaskan
bahwa hasrat manusia untuk menekankan kehendak bebas manusia dan kemampuan
manusia untuk menerima keselamatan berdasarkan respon dan pilihan manusia
adalah sebuah kebodohan yang buta. Seperti yang dikutip oleh Helm, Luther
menyatakan “For human nature is so blind that it does not know its own powers,
or rather diseases, and so proud as to imagine that it knows and can do
everything….”
V.
Pandangan
Calvin mengenai Kehendak Bebas manusia
Selain
Luther, Calvin juga menghadapi permasalahan yang cukup pelik mengenai kehendak
bebas manusia, terutama ketika Calvin menekankan doktrin penetapan dan
pemilihan(Predestination and Election)
Allah dalam kekekalan. Dalam bukunya The
Bondage and Liberation of the Will, Calvin mencoba memberikan pandangan
mengenai kehendak bebas. Calvin melihat sesuatu cukup berbeda dibandingkan
Luther dan Pighius dalam menafsirkan konsep kehendak bebas Agustinus. Calvin
menyatakan,
“He says that
sin will not be sin without its being voluntary, and further that free choice
resides in the will. ”For God judged that his servants would be better if they
served him freely. But this would happen only if they served him with a will,
not by necessity.:”
Dalam
hal ini, Calvin melihat kehendak (will)
sebagai sesuatu yang dilakukan secara sukarela dimana pilihan (arbitrium) ada di dalam kehendak.
Sehingga, tindakan manusia dalam kehendaknya tidak terjadi karena sebuah
keharusan, baik kehendak itu untuk melayani Tuhan ataupun memilih untuk
berdosa. Pandangan ini dijabarkan oleh Calvin dalam konteks dimana manusia
memiliki kehendak bebas yang belum terbelenggu dosa. Sedangkan mengenai
hubungan kehendak bebas dan dosa, Calvin melihat bahwa kehendak bebas tidak
hilang dalam naturnya namun dilumpuhkan. Calvin mengatakan
“Concerning the
will exactly the same kind of reply should be given: it is indeed free by
nature, but by corruption it has been made a slave, and it is held back by this
bondage until it is set free by the hand of God.”
Dalam
hal ini, Calvin melihat bahwa kehendak bebas tidak kehilangan natur kebebasannya,
namun natur kebebasan itu dijadikan budak akibat dosa. Dalam hal ini, Calvin
mencoba menterjemahkan konsep kehendak bebas bukan sebagai binatang yang
ditunggangi (seperti ilustrasi Luther), namun sebagai seseorang yang memiliki
dua kaki dan dahulu ia bisa berjalan sesuai kehendaknya. Akan tetapi, suatu
saat kedua kakinya lumpuh dan meskipun kehendak itu ada untuk berjalan namun
kehendak itu tidak mampu untuk membuat orang tersebut berjalan.
Mengenai hal ini, Calvin mencoba menunjukkan bagaimana kehendak itu
sesungguhnya terikat karena dosa, dilumpuhkan dalam aktualisasinya dan bukan
naturnya.
Hal
lain yang Calvin coba jelaskan mengenai kehendak bebas ialah kaitan kehendak
bebas dengan keharusan. Jika Luther memahami kehendak bebas sebagai sebuah
binatang yang bergantung kepada siapa yang menungganginya, hal ini menunjukkan
bahwa tindakan dari kehendak merupakan suatu keharusan. Namun Calvin mencoba
memisahkan hal ini, menurut Calvin keharusan dari sebuah tindakan hanya lahir
dari dosa, sedangkan tindakan kehendak bebas sejatinya hadir dari kasih. Calvin
menyatakan, “But in right action there
is no chain of necessity, because freedom comes from love…. So let me hear that
the necessity of sinning derives from the corruption of nature, not from creation.”
Dalam hal ini, Calvin jelas menggambarkan perbedaan antara status manusia di
dalam dosa dan di dalam keselamatan. Dalam dosa manusia memiliki status yang
terikat baik secara hukuman dosa maupun dalam kehendak bebasnya, namun dalam
keselamatan Allah, manusia menemukan kebebasan baik dari hukuman dosa maupun
dalam kehendak bebasnya. Oleh karena itu, bagi Calvin, kehendak bebas lahir
hanya melalui anugerah dan dipulihkan kembali berdasarkan anugerah keselamatan
dari Roh Kudus. Dalam hal ini Calvin mengutip pandangan Agustinus yang
menyatakan,
“Therefore when
God teaches, not by the letter of the law but by the grace of the Spirit, he
teaches in such a way that what each has learned he not only perceives in an
intellectual way but also strives towards by willing it and completes it by his
action. And by that divine way of teaching the will and action are aided, not
merely the power to will and act. For if merely our ability were aided by
grace,..”
Dalam
bagian selanjutnya, Calvin menekankan bahwa anugerah Allah yang diberikan bukan
hanya menyembuhkan dan memberikan kemampuan untuk kehendak bebas manusia
mengingini sesuatu yang baik, namun juga secara efektif, anugerah itu menolong
kehendak bebas manusia untuk melakukan apa yang baik. Dalam
hal ini, Calvin menunjukkan bahwa anugerah Allah bukan hanya bersifat prevenient tapi juga effectual.
Jika
demikian, muncul pertanyaan baru, apakah ketika manusia jatuh dalam dosa dan
dikatakan bahwa kehendak bebas itu terikat oleh dosa, maka tindakan manusia itu
diluar pilihan manusia yang bebas? Apakah pilihan manusia untuk terus berbuat
dosa adalah sesuatu yang dilakukan bukan oleh keinginan manusia itu sendiri?
Diluar kekuasaan manusia, sehingga bisa dikatakan bahwa manusia itu terikat dan
tidak bebas lagi? Menjawab pertanyaan ini, Calvin menyatakan
Therefore it is
free not because it can turn itself in either direction by its own power, but
because by a voluntary movement it proceeds to evil…. Freedom should be applied
not to a power or ability to choose good and evil alike, but to a movement and
an agreement which is self-determined….”But this will which is free in the
wicked, because they enjoy evil, is not free to do good, because it has not
been liberated.”
Dalam
pernyataan ini tergambar bagaimana pemahaman Calvin mengenai keterikatan
kehendak bebas, bukan keterikatan dalam pemahaman Luther, namun keterikatan
atau ketidak bebasan kehendak terjadi ketika seseorang ingin melakukan yang
baik. Keterikatan ini terjadi sebab manusia telah melakukan perjanjian sehingga
secara sukarela manusia memilih mendeterminasikan dirinya terhadap dosa,
sehingga keberdosaan manusia itu dikerjakan secara sukarela dan secara sukarela
membatasi kebebasan manusia untuk melakukan yang baik. Dalam hal ini, Calvin
mencoba melihat kehendak bebas bukan sebagai kekuatan atau kemampuan untuk
memilih namun sebagai kekuatan atau kemampuan untuk mengikat perjanjian yang
kepadanya kehendak itu melakukan tindakan itu secara terus menerus, atau dalam
bahasa bagian ini disebut Self-Determined.
Disinilah keunikan Calvin melihat kehendak bebas sebagai satu kondisi bebas
terhadap yang satu dan terikat kepada yang lain.
VI.
Kesimpulan
Dari
pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa Calvin dan Luther mendasarkan
pemahaman mereka kepada konsep Agustinus mengenai kehendak bebas. Meskipun
demikian, baik Calvin dan Luther, memiliki penafsiran masing-masing dalam
menggambarkan keterikatan dari kehendak bebas itu terhadap dosa. Jika dilihat,
Luther cenderung menekankan bagaimana kehendak bebas itu sesuatu yang bisa
dikatakan tidak bebas, sebab sifat kehendak bebas dalam naturnya hanya untuk
kebaikan dan ketika jatuh dalam dosa kehendak bebas itu dimiliki dan diperbudak
dosa. Dalam hal ini, Luther lebih melihat kehendak bebas sebagai kehendak yang
bertuan yang di dalam kecenderungannya selalu memilih dan melakukan seperti apa
yang tuannya kehendaki. Sedangkan bagi Calvin, kehendak bebas adalah kemampuan
untuk membuat perjanjian dimana di satu sisi kita secara sukarela mengikatkan
diri untuk secara bebas melakukan hal-hal yang kepadanya perjanjian itu
dilaksanakan dan secara terbatas tidak melakukan hal-hal yang kepadanya
perjanjian itu tidak dilaksanakan. Dalam hal ini, jika seseorang jatuh dalam
dosa maka secara sukarela ia mengikat perjanjian dengan dosa dan dengan bebas
ia melakukan tindakan dosa dan tidak bebas untuk melakukan yang baik. Demikian
juga sebaliknya, jika manusia telah diselamatkan secara bebas manusia memiliki
kebebasan untuk melakukan hal yang baik dan secara terbatas untuk memilih dosa.
Dalam melihat perbedaan ini, penulis cenderung lebih
setuju dengan Calvin, sebab penggambaran kehendak bebas sebagai binatang
tunggangan yang dikontrol, akhirnya akan sulit memperlihatkan konsep kebebasan
dalam memilih. Sebab konsep kehendak bebas sebagai kehendak yang bertuan, akan
cenderung menyangkali kebebasan dalam diri manusia itu sendiri, karena secara
langsung atau tidak langsung tindakan manusia selalu diarahkan oleh
kecenderungan dari tuannya. Meskipun Calvin juga tidak menolak paham ini, namun
cara Calvin menggambarkan jauh lebih halus dan lebih mudah untuk dijadikan
argumen dalam menunjukkan kebebasan manusia. Sebab dalam perjanjian, artinya
kehendak bebas itu secara sukarela menyetujui apa yang perjanjian itu katakan,
sehingga ketika seseorang mengikat perjanjian dengan dosa, maka secara bebas
dan sukarela kehendak bebas itu memilih dalam dirinya sendiri untuk melakukan
dosa. Walaupun, di sisi lain Calvin juga menunjukkan adanya kecenderungan yang
mempengaruhi, namun pembahasaan Calvin menolong untuk tidak memunculkan
perdebatan yang lebih panjang.
Dari penjelasan diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa
kehendak bebas manusia pada mulanya diberikan Allah untuk memuliakan Allah dan
berelasi dengan Allah secara bebas dan sukarela. Namun setelah kejatuhan dalam
dosa, kehendak bebas telah mengikat perjanjian secara sukarela dengan kuasa
dosa sehingga kehendak bebas manusia secara bebas selalu memilih berbuat dosa
dan dibelenggu agar tidak dapat melakukan hal yang baik. Akan tetapi, melalui
anugerah Allah, perjanjian yang telah diciptakan ini dibatalkan oleh Allah,
sehingga kini manusia yang ditebus dapat mengikat perjanjian dengan Allah dan
memiliki kebebasan untuk berbuat baik dan melayani Allah dengan kehendak
bebasnya. Meskipun demikian, karena Image
of God ini rusak, maka kehendak bebas manusia masih dalam kondisi lemah
untuk dapat secara independen melawan kuasa dosa, disinilah anugerah Allah yang
efektif menolong manusia yang telah ditebus untuk dapat secara efektif
menggunakan kehendak bebasnya dan melakukan tindakan baik secara sukarela oleh
karena kasihnya kepada Allah. Akhir kata, baik dalam kehendak bebas maupun
dalam pengaturan Tuhan, Anugerah Allah selalu bekerja di dalamnya untuk membawa
manusia kepada tujuan Allah yang sudah Allah tetapkan dalam diri manusia.
Sehingga, baik memiliki kehendak bebas
yang bertuan maupun kehendak bebas yang berdasarkan perjanjian, semua tindakan
kita hanya untuk kemuliaan Allah dan untuk mengabarkan kebesaranNya kepada
seluruh dunia. Soli Deo Gloria….