Jumat, 31 Juli 2015

IKUTLAH AKU
MATIUS 9 : 9-13
I.                    Pendahuluan
Kehidupan Matius:
Dalam ay. 9, Matius duduk di rumah cukai yang berarti tempat pemungut cukai/pajak. Matius adalah seorang pemungut cukai. Matius disebut juga Lewi (Markus 2:14; Lukas 5:27). Pemungut cukai berarti penagih pajak, yakni petugas-petugas yang bertugas untuk memungut cukai atau pajak untuk pemerintah penjajah (Roma).
Pemungut cukai sering kali memeras rakyat (band. perkataan Zakheus dalam Luk.19:8) untuk menguntungkan diri sendiri. Jawaban Yohanes Pembaptis untuk pertanyaan para pemungut cukai (Luk. 3:12-13): “Jangan menagih lebih banyak dari apa yang telah ditentukan bagimu” menunjukkan bahwa ada banyak pemungut cukai yang menagih atau menuntut masyarakat untuk membayar pajak melebihi dari apa yang telah ditentukan kaisar, raja dan wali negeri.

Pemungut cukai dibenci dan dianggap najis oleh orang Yahudi fanatik, karena mereka senantiasa berhubungan dengan orang-orang kafir dan seringkali ‘memeras’ masyarakat. Karena itulah orang Farisi tidak boleh makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang-orang berdosa (Mat. 9:11)
II.                  Isi
Bagaimana kita meresponi panggilan Tuhan “Ikutlah Aku”
Memalui bacaan Firman Tuhan (Mat 9:9-13) ada 3 hal penting yang dilakukan oleh orang percaya dalam meresponi panggilan Tuhan (Ikutlah Aku) yaitu
1.       Berani mengambil keputusan (9)
Matius tampa berpikir panjang dia lalu berdiri dan mengikuti Yesus.
Mengapa Matius ambil keputusan demikian karena Matius kenal siapa yang mengajak. Matius mengetahui yang mengajak dia adalah Yesus yang menyembuhkan orang sakit, mengajar, melakukan mujizat dll.

Aplikasi
Saat kita mau mengambil keputusan untuk mengikuti seseorang yang mengajak kita maka ada beberapa hal yang akan perhatikan siapa yang mengajak kita apakah kita sungguh mengenal dia sehingga ketika kita diajak kita mau mengikuti dia dan Jika untuk meresponi panggilan Tuhan Ikutlah Aku maka kita perlu tahu
siapa Tuhan yang mengajak kita Dia adalah Pencipta dan pemilik atas segala sesuatu yang ada didunia ini. Dia pribadi yang hadir kedunia untuk menyelamatkan orang-orang berdosa dari hukuman dosaia  dan Dia juga pribadi yang memberi jalan keluar bagi setiap persoalan, menyembuhkan sakit penyakit, memberi masa depan yang cerah dll. Dan yang paling penting adalah kita perlu menerimah dia secara pribadi, sebab ketika kita menerimah dia dan tinggal dalam hidup kita maka kita akan mengalami pembaharuan dalam hidup kita.

2.       Berani menerimah resiko (11)
Matius baru saja mengambil keputusan untuk mengikuti Tuhan dan ketika makan bersama datang orang farisi dan bertanya kepada murid-murid mengapa Gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang-orang berdosa” pertanyaan orang-orang farisi mengadung satu unsur cibiran. Tapi karena Matius sudah membuat keputusan sehingga dia tidak ragu-ragu.
Matius 8 :18-22 “ hal mengikut Yesus”
Berani melepas dan meninggalkan sesuatu sebab ketika orang farisi bertanya tentunya dia memiliki satu motifasi sebab Tuhan Yesus sangat popular sehingga dia berpikir jika mengikut Tuhan dia akan mendapatkan status social/kedudukan sebab dia orang yang rohani sehingga Tuhan menjawabnya “serigala mempunyai liang, burung mempunyai sarang tetapi anak manusia tidak memiliki tempat untuk meletakan kepala-Nya. Dan juga salah seorang murid bertanya dan meminta ijin untuk menguburkan orang tuanya tapi kata Tuhan “Ikutlah Aku biarkan orang mati menguburkan orang mati” dan juga seorang lain meminta ijin untuk pamit kekeluarganya tetapi Yesus berkata dengan tegas “setiap orang yang siap untuk membajak tetapi manenoleh kebelakang dia tidak layak bagi kerajaan Allah dan juga dalam Injil markus juga disitu diceritakan bagaimana Yesus sendiri tertolak dikampung halamaNya dan juga cerita lainnya dimana seorang muda yang benar sekalipun sulit untuk mengikut Tuhan ketika Tuhan menyuruh dia untuk menjual segala harta kekayaannya.

Aplikasi
Dari contoh-contoh yang ada dalam alkitab memberikan pemahaman bagi kita bahwa Saat kita meresponi panggilan Tuhan untuk mengikuti Dia bukanlah keputusan yang mudah sebeb kita harus berani melepas segala sesuatu dan kita juga harus siap untuk menghadapi banyak persoalan, ditolak, dicerca, dianiaya, dll. Tidak sesuai dengan harapan kita maka itulah keputusan yang sudah kita buat dan kita harus siap untuk menghadapinya karena kata Tuhan jika kita mau mengikuti Dia maka kita harus pikul salib (Mat 16:24)

3.       Menyadari keberadaan kita sebagai orang berdosa (11)Pertanyaan orang Farisi (ay. 11): “Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang-orang berdosa?” menunjukkan bahwa orang Farisi:
- Menganggap diri lebih rohani/tidak berdosa
- Menganggap Yesus berdosa
- Tidak berbelas kasihan terhadap orang berdosa
Aplikasi:
Ketidaksadaran seseorang akan keberadaannya sebagai orang berdosa dan menganggap diri lebih baik dari yang lain akan membatasi dan menghalangi untuk meresponi panggilan Tuhan.
Status kita sebagai orang berdosa
Ketika mengaku dengan mulut kita bahwa kita adalah orang berdosa maka kita akan tertolong dan rela hati untuk mengikut Tuhan ketika Tuhan memanggil kita, sebab
Tuhan datang kedunia untuk menyelamatkan orang-orang berdosa.


III.                Kesimpulan
ketika Tuhan memanggil kita maka kita harus meresponinya dengan, mengambil keputusan, keputusan itu dibuat dengan mengenal siapa Yesus dan harus menerimah Dia secara pribadi.
Berani menerimah resiko yakni memikul salib.
Menyadari keberadaan sebagai orang berdosa sebab Tuhan datang untuk menyelamatkan orang-orang berdosa dari hukuman dosa.

Rabu, 22 Juli 2015

MANFAAT DOA BAGI DIRI KITA



Manfaat Doa Dalam Hidup Kita.
1       Tesalonika 5:17
“ Tetaplah berdoa ”

 Doa merupakan Salah satu cinta-kasih Tuhan kepada umat manusia dengan memberikan kesempatan bagi manusia untuk mendekat kepada-Nya. Walaupun manusia telah kehilangan kemuliaanNya. Namun melalui doa kita mengikatkan hati kita kepada Tuhan. Doa merupakan komunikasi dari hati ke hati, jiwa ke jiwa dan roh ke roh.
-  Doa adalah sarana untuk memohon sesuatu kepada Allah"
-  Doa adalah berbicara kepada Allah",
- Doa adalah nafas kehidupan orang percaya. Orang Kristen harus berdoa, sebab kalau tidak berdoa itu berarti orang Kristen yang mati.
Dalam doa yang benar, kita mencurahkan isi hati kita kepada-Nya, seperti Hana berdoa, "aku mencurahkan isi hatiku di hadapan TUHAN" (1 Sam 1:15). Jadi doa bukan semata-mata berisi daftar permintaan saja, tetapi Doa adalah ibadah hati kita.
Ada orang menganggap bahwa doa itu seperti 911. yang diperlukan apabila kita berada dalam perkara-perkara darurat! Bila ada bahaya mengancam, bila penyakit datang, bila tidak mempunyai pekerjaan, bila kesukaran timbul - maka waktu itulah kita berdoa. Jadi seakan-akan doa itu difokuskan sebagai "Allah yang kita sembah itu wajib melayani kita". Lalu sewaktu kita tidak dalam keadaan sulit, Allah itu seakan-akan tidak diperlukan. Jadi Allah itu dianggap hanya seperti pembantu yang menjaga kita, termasuk menjaga rumah kita sewaktu kita bepergian.
Apa Manfaat Doa bagi orang percaya?
A.    MEMBANTU KITA UNTUK MENGERTI  KEHENDAK TUHAN
(Mat. 26:39) “maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya: Ya Bapa-ku, Jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Kau kehendaki.”


   
B.     MEMBERI KITA KEPEKAAN UNTUK BERJAGA-JAGA.

 (Mat. 26:41) “berjaga-jagalah dan berdoalah, suapaya kamu jangan Jatuh kedalam pencobaan: roh memang penurut tapi daging lemah”

C.    MEMBERI KITA KEKUATAN
Yosua 10:10-13,24,26,27 memasuki Tanah Kanaan.

Kesimpulan; jadi dalam setiap kehidupan orang percaya harus tetap berdoa sebab doa memberikan manfaat bagi hidup kita yakni
1.      Membantu setiap kita untuk mengerti kehendak Tuhan dalam hidup kita.
2.      Memberikan kepekaan untuk berjaga-jaga.
3.      Dapat Memberi kekuatan

Pandangan Bapa-bapa Gereja tentang Kehendak Bebas

             I.            Pendahuluan
Perdebatan mengenai kehendak bebas(Free Will) adalah suatu perbincangan yang cukup sengit dibicarakan dalam kurung waktu yang cukup lama. Calvin, Luther, bahkan Bernard of Clairvaux dan Agustinus juga pernah membahas hal ini. Mengapa pemahaman mengenai kehendak bebas merupakan sesuatu sering diperdebatkan? Menurut Leahy, “Manusia tidak dapat tidak berkehendak. Dia adalah makhluk yang secara esensial berkehendak.”[1] Jika kehendak merupakan sesuatu yang secara esensial “ada” dalam natur kemanusiaan, maka bahasan mengenai kehendak bebas juga merupakan pembahasan mengenai esensi dan jati diri manusia itu sendiri. Permasalahannya ialah apakah kehendak kita itu benar-benar adalah kehendak yang bebas? Mungkinkah kita berkehendak namun kehendak kita itu selalu adalah kehendak yang dikondisikan atau diatur? Jika kehendak kita itu diluar kontrol kita atau bukan bebas secara murni maka apakah tepat jika kita harus bertanggungjawab atas hasil perbuatan dari kehendak kita? Pertanyaan seperti ini seringkali muncul dalam diri manusia dan menjadikan perdebatan yang berkepanjangan dan hasil yang berbeda-beda diantara para tokoh dan teolog. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis tidak ingin secara langsung memastikan diri atau berpegang kepada satu pandangan, namun penulis ingin mencoba menelusuri pemahaman tentang kehendak bebas di dalam pemikiran tiga tokoh besar kekristenan, yaitu Agustinus, Luther, dan Calvin.
                              II.            Pemahaman Umum mengenai Kehendak Bebas
Kehendak bebas merupakan sesuatu hal yang menarik untuk diperbincangkan, bukan hanya oleh di kalangan akademisi teologi namun juga dalam ranah filsafat dan sosial. Dalam buku Four Views on Free Will, beberapa tokoh seperti John Martin Fischer, Robert Kane, Derk Pereboom, dan Manuel Vargas mencoba mengajukan beberapa pandangan mengenai kehendak bebas manusia, antara lain: Libertarianism, Compatibilism, Hard Compatibilism, dan Revisionism.[2] Dalam ranah neurology, Nancey Murphy dan beberapa tokoh neuroscience dan mathematics  juga mencoba merumuskan konsep kehendak bebas dalam buku Downward Causation and the Neurobiology of Free Will.[3] Dalam hal ini dapat dilihat bahwa banyak pandangan yang muncul dalam memahami kehendak bebas dan telah mencoba mengkaitkannya secara filosofis, matematis, maupun biologis. Oleh karena itu, dalam bagian ini penulis tidak berusaha untuk mencoba masuk dalam perdebatan rumit di dalamnya, akan tetapi penulis akan mencoba melihat makna kehendak bebas secara epistemologi umum. Secara epistemologi, kata kehendak memiliki persamaan makna dengan kata kemauan, keinginan, atau harapan yang keras.[4] Sedangkan menurut Oxford Advanced Learner’s Encyclopedic Dictionary, kata kehendak atau will memiliki makna “mental power by which a person can direct his thought and actions or influence those of others, strong desire.”[5] Dari dua pemahaman ini bisa dikatakan bahwa kehendak berhubungan erat dengan keinginan yang terdalam dari manusia. Di dalam proses berkehendak ini menyangkut kesadaran berpikir, perasaan, dan juga tindakan seseorang yang berkehendak tersebut.
            Jika kehendak dikatakan sebagai sesuatu yang menyangkut kesadaran berpikir, perasaan, dan juga tindakan. Maka kata bebas dalam hubungannya dengan kata kehendak bisa dimaknai sebagai sesuatu yang tidak terikat,[6] sebuah kondisi atau state of being unrestricted in one’s actions.[7] Dalam hal ini, maka bisa disimpulkan bahwa kehendak yang dikatakan bebas adalah kehendak yang tidak terikat atau dibatasi oleh sesuatu di dalam pemikiran, perasaan, dan keputusannya untuk bertindak. Oleh karena itu, konsep kehendak bebas ini sangat dekat dengan pembahasan mengenai etika hidup dan bagaimana manusia dalam kebebasan berkehendaknya mampu untuk bertanggungjawab atas tiap keputusan dan tindakannya. A.M. Farrer, yang dikutip dalam A New Dictionary of Christian Ethics, menyatakan bahwa “Freewill is a postulate of moral life”. Permasalahan dalam diskusi mengenai kehendak bebas yang paling utama adalah permasalahan mengenai tanggungjawab manusia dalam tiap tindakan. Beberapa kelompok melihat bahwa manusia memiliki kehendak bebas dan oleh karenanya tiap orang bertanggungjawab atas akibat dari setiap tindakan yang diambil (Libertarianism).[8] Sedangkan beberapa kelompok melihat bahwa manusia selalu di-determinate oleh beberapa faktor dalam kehidupan sehingga mereka tidak benar-benar memiliki kehendak bebas, sehingga seharusnya tidak ada tanggungjawab dalam setiap tindakan manusia karena keputusan yang diambil sudah ditetapkan sebelum keputusan itu dibuat di dalam diri orang tersebut (Determinism/Hard Compatibilism).[9] Dalam hal ini, terlihat jelas bagaimana perdebatan mengenai kehendak bebas bukan hanya bersangkutan erat dengan esensi dari kemanusiaan itu sendiri, namun juga berkaitan dengan praktis kehidupan moral. Berbicara mengenai manusia dan kehidupan moral bukan hanya menjadi masalah filsafat atau ilmu sosial, namun juga menjadi konsen dari teologi sebagai ilmu yang mencoba menjelaskan mengenai Allah dan manusia serta segala hubungannya, termasuk di dalamnya mengenai kehidupan. Oleh karena itu, bagaimana posisi teologi dalam memahami kehendak bebas? Bagaimana kehendak bebas ini dilihat dari kacamata kedaulatan Allah, kemahatahuan Allah, dan rencana Allah yang sempurna dalam kehidupan manusia?
               III.            Pandangan Agustinus mengenai Kehendak Bebas manusia
Agustinus merupakan seorang bishop dari Hippo yang lahir pada tahun 354 dan meninggal tahun 430 M. Dibesarkan dalam tradisi filsafat Cicero dan Aristoteles, kemudian beralih pada Plato menghadirkan pola berpikir dan argumentasi filsafat yang mendalam, sehingga banyak tokoh menyebut bahwa Agustinus sedang membangun teologi Kristen yang platonis (Platonizing Christianity).[10] Nuansa Platonis bukan hanya muncul dalam alam berpikir namun juga dalam cara pembahasan mengenai teologi, dalam buku On the Free Choice of the Will, Augustinus menggunakan metode dialog Plato dalam tulisannya untuk menjelaskan mengenai kehendak bebas manusia. Dalam pemikiran mengenai kehendak bebas, Agustinus menekankan di awal bahwa Allah adalah pencipta dan penyebab dari segala sesuatu yang ada di dunia, meskipun demikian Allah bukanlah pencipta atau penyebab dosa.[11] Dalam bagian ini, Agustinus mencoba mempertahankan kenyataan bahwa dosa yang dilakukan manusia bukan disebabkan karena Allah. Dalam percakapan dengan Evodius, Agustinus mempertahankan tuduhan Evodius dimana manusia tidak mungkin belajar sesuatu tanpa ada seseorang yang mengajarinya, oleh karena itu manusia tidak mungkin belajar tentang dosa tanpa ada yang mengajarkan kepadanya tentang dosa. Dalam hal ini, Agustinus menyanggah dengan memperlihatkan bahwa sesuatu yang diajar adalah sesuatu yang dianggap baik oleh Evodius, dan jika demikian maka tidak mungkin dosa yang bersifat buruk adalah sesuatu yang diajarkan.[12] Dari perdebatan ini, Agustinus melihat bahwa kehendak bebas manusia itu adalah sesuatu yang ada dan disadari sebab secara natur manusia adalah binatang yang berpikir dan rasional, oleh karena itu, ketika hasrat itu muncul dan bertemu dengan pengetahuan dan rasio maka di dalamnya tercipta sebuah pilihan atau pertimbangan dan ketika pilihan itu diambil maka kehendak bebas manusia untuk memilih secara sadar juga berjalan selaras dengan hasrat dan rasionya.[13] Secara gamblang Agustinus menyatakan, “We have established that what each person elects to pursue and embrace is located in the will, and that the mind is not thrown down from its stronghold of dominance, and from the right order, by anything but the will.”[14] Dalam hal ini, kehendak bebas manusia merupakan hal yang esensial dalam setiap keputusan dan tingkah laku manusia.
Dalam pemahaman bahwa manusia secara natur diberi oleh Allah sebuah kemampuan untuk berkehendak secara bebas. Kemampuan untuk berkehendak sesungguhnya diberikan untuk manusia dapat bertindak dan memilih yang baik, akan tetapi dalam kenyataannya kemampuan untuk berkehendak juga penyebab munculnya kejahatan. Agustinus menegaskan “… free will had been given not only for living rightly but also for sinning.”[15] Dalam hal ini, Agustinus memahami bahwa kehendak manusia itu selalu bersifat bebas terhadap pilihan-pilihan yang ada. Sehingga jika pilihan itu tidak ada atau hanya ada satu pilihan maka sesungguhnya itu bukan pilihan, dan secara tidak langsung meniadakan kehendak bebas. Oleh karena itu, kehendak bebas menurut Agustinus selalu berjalan beriringan dengan adanya pilihan. Meskipun demikian, Agustinus juga menyadari bahwa dosa bukan sekedar bagian dari pilihan namun telah menjadi natur manusia yang terus merusak. Oleh karena itu, dalam konsep manusia yang berdosa kehendak bebas tidak bisa dikatakan murni bebas. Dalam buku The Enchiridion, yang dikutip oleh Peterson, Agustinus menyatakan bahwa setelah kejatuhan Adam dalam dosa, kehendak bebas manusia diperbudak oleh dosa.[16] Sehingga segala kehendak dan tindakan dari manusia adalah kehendak dan tindakan dalam keberdosaan. Dalam pembahasaan yang lain, McGrath menyatakan bahwa  menurut Agustinus kehendak bebas manusia telah dilemahkan dan dijadikan tidak memiliki kemampuan untuk melawan dosa, atau dengan kata lain didistorsi oleh dosa.[17] Sehingga bisa dikatakan bahwa kemampuan kita berkehendak tidak sama dengan kemampuan Adam sebelum jatuh dalam dosa. Dalam hal ini, Agustinus menunjukkan hubungan kehendak bebas manusia di dalam relasinya dengan konsep dosa asal.
Konsep kehendak bebas juga seringkali dikaitkan dengan permasalahan mengenai kemahatahuan Allah. Argumentasi yang seringkali muncul adalah jika Allah maha tahu berarti Allah tahu bahwa Adam akan berbuat dosa, dan jika Allah tahu Adam akan berbuat dosa mengapa Allah tidak mencegah Adam berbuat dosa atau mengapa Allah tidak menghilangkan saja pohon pengetahuan yang baik dan jahat agar Adam tidak berdosa? Jika Allah tahu dan Allah membiarkan Adam berbuat dosa maka sesungguhnya Allah menginginkan keberdosaan Adam. Atau disisi lain, Jika kehendak bebas itu ada dan manusia bebas memilih. Maka tentu Adam bebas memilih untuk berbuat dosa atau untuk taat. Jika demikian sampai dibatas mana pengetahuan Allah terhadap kehendak bebas manusia itu? Apakah hanya sampai batas kemungkinan atau Allah tahu apa yang pasti terjadi? Argumentasi ini terus menerus coba diperbincangkan.
Untuk menjawab permasalahan mengenai kemahatahuan Allah dan kehendak bebas manusia, Agustinus mendasarkan argumentasinya bahwa segala kebenaran adalah kebenaran Allah, dan kebenaran itu adalah Allah itu sendiri. Dalam hal ini, Agustinus melihat bahwa kebenaran tertinggi adalah kebenaran yang tidak berubah dan kekal, dan yang mampu memenuhi kriteria itu hanyalah Allah.[18] Jika Allah adalah kebenaran yang tidak berubah maka pengetahuan Allah seharusnya adalah pengetahuan yang benar. Oleh karena hasil dari pengetahuan Allah akan sesuatu yang terjadi di masa depan bersifat Pasti. Agustinus menyatakan bahwa “God has foreknowledge of everything that will happen”.[19] Jika demikian apakah Allah mengetahui bahwa manusia akan jatuh dalam dosa? Jika demikian Allah secara sengaja membiarkan manusia jatuh dalam dosa? Berarti kejatuhan manusia dalam dosa ada andil Allah yang sudah tahu sebelumnya dan membiarkan manusia memilih dosa? Berarti pilihan manusia tidak bebas dan sudah ditentukan Allah bahwa itu akan terjadi sebelum tindakan manusia untuk memilih. Untuk menjawab argumentasi ini, seperti yang dikutip Hopkins, Agustinus menyatakan
“God has foreknowledge of our will, so that of which he has foreknowledge must come to pass. In other words, we shall exercise our wills in the future because he has foreknowledge that we shall do so; and there can be no will or voluntary action unless it be in our power.”[20]
Dalam hal ini, tidak bisa dikatakan bahwa kita tidak memiliki kehendak bebas, sebab pengetahuan Allah akan apa yang manusia pilih, baik itu pilihan yang baik maupun yang buruk semua itu diketahui Allah secara pasti dan semua itu pasti terjadi tanpa menghilangkan kemampuan kehendak bebas manusia untuk memilih. Dalam bagian ini Agustinus mencoba memisahkan antara kemampuan untuk berkehendak dengan tindakan dari kehendak itu sendiri. Kesalahan yang sering terjadi ialah seringkali beberapa pihak berpikir bahwa jika manusia belum ada maka tindakan manusia dalam berkehendak belum ada sehingga jika Allah tahu bahwa manusia akan melakukan sesuatu dan pengetahuan itu bersifat pasti maka sebenarnya Allah sendiri yang telah menetapkan kejadian itu dan bukan kehendak manusia. Dalam hal ini, Agustinus melihat kehendak bebas adalah kehendak yang di dalam kemampuan manusia secara sadar memilih untuk melakukan sesuatu. Sehingga, meski Allah tahu bahwa manusia pasti berdosa, bukan berarti Allah mengubah kemampuan manusia untuk secara sadar memilih, namun sebaliknya Allah mengetahui kecenderungan pilihan manusia secara pasti, yang di dalamnya manusia secara total mengambil pilihan itu secara sadar dan tanpa paksaan. Sehingga ketika manusia jatuh dalam dosa, Allah secara pasti mengetahui itu meskipun Allah sesungguhnya tidak menginginkan itu terjadi. Dalam hal ini, maka tidak salah jika Paulus menyatakan dalam Roma 3:25 bahwa “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya. Hal ini dibuat-Nya untuk menunjukkan keadilan-Nya, karena Ia telah membiarkan dosa-dosa yang telah terjadi dahulu pada masa kesabaran-Nya.” Selaras dengan ini, Petrus juga menunjukkan bahwa Kristus telah dipilih, bahkan sebelum dunia dijadikan, untuk menjadi penebus dosa manusia(1 Pet 1:18-20).  Dari beberapa ayat ini, bisa dikatakan bahwa pengetahuan Allah akan masa depan bersifat pasti. Meskipun demikian, kembali perlu ditekankan bahwa meskipun pengetahuan Allah bersifat pasti bukan berarti Allah menginginkan dosa dan menyebabkan manusia berdosa, keberdosaan manusia terjadi karena pilihan yang manusia pilih dalam kemampuannya berkehendak secara bebas.
                IV.            Pandangan Luther mengenai Kehendak Bebas manusia
Perdebatan mengenai kehendak bebas juga muncul dalam masa Luther, dimana Luther berhadapan dengan Erasmus yang memegang paham bahwa manusia memiliki kehendak bebas yang sebebas-bebasnya dan dapat memilih untuk melakukan sesuatu atau tidak, untuk menerima Kristus atau menolak. Dalam hal ini, Luther menggunakan landasan berpikir Agustinus mengenai kehendak bebas. Bagi Luther kehendak bebas dalam adalah kebebasan untuk memilih tapi bukan kemampuan untuk berkehendak, alasannya karena Luther membedakan kehendak bebas dalam dua definisi dengan mengutip konsep Pelagius yang menjadi landasan argumentasi Erasmus, dengan menyatakan “The Pelagians divide free will into two parts, the power of discernment and the power of choice, attributing the one to reason, and the other to will.”[21] Dalam hal ini, Luther melihat bahwa manusia memiliki dua kemampuan yaitu kemampuan untuk berkecenderungan yang berhubungan dengan natur dari reason dan juga kemampuan untuk memilih yang berhubungan dengan kehendak. Dalam hal ini, Luther menggambarkan kehendak bebas manusia itu seperti binatang tunggangan, Luther menyatakan
“Thus the human will is like a beast of burden. If God rides it, it wills and goes whence God wills; …. If Satan rides, it wills and goes where Satan wills. Nor may it choose to which rider it will run, nor which it will seek. But the riders themselves contend who shall have and hold it.”
Dalam bagian ini jelas menunjukkan bahwa binatang itu punya kemampuan untuk bertindak dan memilih tindakannya hanya saja tindakannya itu adalah hasil dari kecenderungan siapa yang memerintahnya. Dalam hal ini, Luther mengakui bahwa kehendak bebas bukan berarti sebuah kebebasan yang tak bertuan, namun seperti Agustinus katakan bahwa kehendak bebas itu diberikan untuk manusia dapat memilih apa yang Allah pilih. Dengan tegas Luther menyatakan “However, with regard to God, and in all things pertaining to salvation or damnation, man has no free will, but is a captive, servant and bondslave, either to the will of God, or to the will of Satan.”[22] Oleh karena itu, Luther menekankan bahwa ketika kehendak bebas manusia ini dikuasai oleh dosa maka manusia tidak dapat berbuat sesuatu yang baik untuk keselamatan kekal. Dalam hal ini, Luther kemudian menekankan mengenai keagungan Salib Kristus dan Anugerah Allah terhadap keselamatan, Luther menyatakan “And therefore since death, the cross and all the evils of the world are numbered among the works of God that lead to salvation, the human will can will its own death and perdition.“[23] Hanya melalui kematian Kristus dan karya Kristus saja manusia dapat mencapai keselamatan, sebab keinginan manusia hanya mendatangkan kematian dan kehancuran semata, karena keinginan manusia sudah rusak oleh dosa. Meskipun demikian, Luther tidak mengingkari bahwa manusia dapat memiliki kehendak yang baik dan melakukan sesuatu yang baik, hanya saja apa yang baik dan yang dikehendaki baik ini tidak memiliki hubungan dengan keselamatan namun hanya kebaikan secara moral. Mengenai hal ini Luther menyatakan “The supreme concern of free will is to exercise itself in moral righteousness, or the works of that law by which its blindness and impotency derive their assistance.”[24] Meskipun demikian, Luther tetap menekankan bahwa manusia tidak bisa selamat hanya dengan mengerjakan kebenaran moral semata, oleh karena itu diperlukan sesuatu yang lebih besar untuk memenuhi tuntutan Tuhan, dan jawabannya adalah Salib Kristus. Lalu bagaimana pandangan Luther mengenai kehendak bebas manusia sebelum kejatuhan Adam?
Mengenai kehendak bebas manusia sebelum kejatuhan, Luther menyatakan,
“By Scriptures being obscure, nothing certain ever has been or could be defined concerning free will. This is according to your own testimony. In the lives of all the men from the beginning of the world, nothing has ever been disclosed to favor free will.”[25]
Hal ini menunjukkan bahwa Alkitab secara konsisten memperlihatkan bahwa kehendak bebas manusia selalu dihubungkan dengan kemampuan untuk taat kepada rencana Allah, dan oleh karenanya kehendak bebas manusia tidak bisa dipahami sebagai kebebasan tanpa aturan. Dalam penciptaan Allah dengan jelas menunjukkan bahwa manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah untuk menjadi pekerja Allah dan untuk menyatakan kemuliaan Allah (Kej 1:26-28). Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa kehendak bebas manusia adalah kehendak untuk memilih hidup dalam kebebasan untuk taat kepada Allah. Oleh karena itu, ketika Adam jatuh dalam dosa dan ia menjual kehendak bebasnya kepada ular, maka ia harus bertanggungjawab kepada Allah. Lalu apakah Allah tahu bahwa Adam akan jatuh dalam dosa sebelum Allah menciptakan Adam? Jika Allah tahu apakah berarti Allah menetapkan Adam untuk jatuh dalam dosa? Dalam hal ini Luther menyatakan
“It is then essentially necessary and wholesome for Christians to know that God foreknows nothing contingently, but that he foresees, purposes and does all things according to His immutable, eternal and infallible will.”[26]
Pengetahuan Allah bukanlah sebuah kemungkinan namun Allah meramalkan dalam ketidak berubahanNya, kekekalan, dan ketidak bersalahan kehendakNya. Dan meskipun Allah meramalkan bukan berarti Allah menetapkan bahwa Adam dalam keinginannya diwajibkan Allah untuk berdosa. Pilihan Adam untuk berdosa tidak diakibatkan karena ramalan Allah, namun ramalan Allah muncul karena kemahatahuan Allah bahkan sebelum Adam melakukan pilihannya. Sebagai kesimpulan, Luther menegaskan bahwa hasrat manusia untuk menekankan kehendak bebas manusia dan kemampuan manusia untuk menerima keselamatan berdasarkan respon dan pilihan manusia adalah sebuah kebodohan yang buta. Seperti yang dikutip oleh Helm, Luther menyatakan “For human nature is so blind that it does not know its own powers, or rather diseases, and so proud as to imagine that it knows and can do everything….”[27]
      V.            Pandangan Calvin mengenai Kehendak Bebas manusia
Selain Luther, Calvin juga menghadapi permasalahan yang cukup pelik mengenai kehendak bebas manusia, terutama ketika Calvin menekankan doktrin penetapan dan pemilihan(Predestination and Election) Allah dalam kekekalan. Dalam bukunya The Bondage and Liberation of the Will, Calvin mencoba memberikan pandangan mengenai kehendak bebas. Calvin melihat sesuatu cukup berbeda dibandingkan Luther dan Pighius dalam menafsirkan konsep kehendak bebas Agustinus. Calvin menyatakan,
“He says that sin will not be sin without its being voluntary, and further that free choice resides in the will. ”For God judged that his servants would be better if they served him freely. But this would happen only if they served him with a will, not by necessity.:”
Dalam hal ini, Calvin melihat kehendak (will) sebagai sesuatu yang dilakukan secara sukarela dimana pilihan (arbitrium) ada di dalam kehendak. Sehingga, tindakan manusia dalam kehendaknya tidak terjadi karena sebuah keharusan, baik kehendak itu untuk melayani Tuhan ataupun memilih untuk berdosa. Pandangan ini dijabarkan oleh Calvin dalam konteks dimana manusia memiliki kehendak bebas yang belum terbelenggu dosa. Sedangkan mengenai hubungan kehendak bebas dan dosa, Calvin melihat bahwa kehendak bebas tidak hilang dalam naturnya namun dilumpuhkan. Calvin mengatakan
“Concerning the will exactly the same kind of reply should be given: it is indeed free by nature, but by corruption it has been made a slave, and it is held back by this bondage until it is set free by the hand of God.”[28]
Dalam hal ini, Calvin melihat bahwa kehendak bebas tidak kehilangan natur kebebasannya, namun natur kebebasan itu dijadikan budak akibat dosa. Dalam hal ini, Calvin mencoba menterjemahkan konsep kehendak bebas bukan sebagai binatang yang ditunggangi (seperti ilustrasi Luther), namun sebagai seseorang yang memiliki dua kaki dan dahulu ia bisa berjalan sesuai kehendaknya. Akan tetapi, suatu saat kedua kakinya lumpuh dan meskipun kehendak itu ada untuk berjalan namun kehendak itu tidak mampu untuk membuat orang tersebut berjalan.[29] Mengenai hal ini, Calvin mencoba menunjukkan bagaimana kehendak itu sesungguhnya terikat karena dosa, dilumpuhkan dalam aktualisasinya dan bukan naturnya.
Hal lain yang Calvin coba jelaskan mengenai kehendak bebas ialah kaitan kehendak bebas dengan keharusan. Jika Luther memahami kehendak bebas sebagai sebuah binatang yang bergantung kepada siapa yang menungganginya, hal ini menunjukkan bahwa tindakan dari kehendak merupakan suatu keharusan. Namun Calvin mencoba memisahkan hal ini, menurut Calvin keharusan dari sebuah tindakan hanya lahir dari dosa, sedangkan tindakan kehendak bebas sejatinya hadir dari kasih. Calvin menyatakan,  “But in right action there is no chain of necessity, because freedom comes from love…. So let me hear that the necessity of sinning derives from the corruption of nature, not from creation.”[30] Dalam hal ini, Calvin jelas menggambarkan perbedaan antara status manusia di dalam dosa dan di dalam keselamatan. Dalam dosa manusia memiliki status yang terikat baik secara hukuman dosa maupun dalam kehendak bebasnya, namun dalam keselamatan Allah, manusia menemukan kebebasan baik dari hukuman dosa maupun dalam kehendak bebasnya. Oleh karena itu, bagi Calvin, kehendak bebas lahir hanya melalui anugerah dan dipulihkan kembali berdasarkan anugerah keselamatan dari Roh Kudus. Dalam hal ini Calvin mengutip pandangan Agustinus yang menyatakan,
“Therefore when God teaches, not by the letter of the law but by the grace of the Spirit, he teaches in such a way that what each has learned he not only perceives in an intellectual way but also strives towards by willing it and completes it by his action. And by that divine way of teaching the will and action are aided, not merely the power to will and act. For if merely our ability were aided by grace,..”[31]
Dalam bagian selanjutnya, Calvin menekankan bahwa anugerah Allah yang diberikan bukan hanya menyembuhkan dan memberikan kemampuan untuk kehendak bebas manusia mengingini sesuatu yang baik, namun juga secara efektif, anugerah itu menolong kehendak bebas manusia untuk melakukan apa yang baik.[32] Dalam hal ini, Calvin menunjukkan bahwa anugerah Allah bukan hanya bersifat prevenient tapi juga effectual.
Jika demikian, muncul pertanyaan baru, apakah ketika manusia jatuh dalam dosa dan dikatakan bahwa kehendak bebas itu terikat oleh dosa, maka tindakan manusia itu diluar pilihan manusia yang bebas? Apakah pilihan manusia untuk terus berbuat dosa adalah sesuatu yang dilakukan bukan oleh keinginan manusia itu sendiri? Diluar kekuasaan manusia, sehingga bisa dikatakan bahwa manusia itu terikat dan tidak bebas lagi? Menjawab pertanyaan ini, Calvin menyatakan
Therefore it is free not because it can turn itself in either direction by its own power, but because by a voluntary movement it proceeds to evil…. Freedom should be applied not to a power or ability to choose good and evil alike, but to a movement and an agreement which is self-determined….”But this will which is free in the wicked, because they enjoy evil, is not free to do good, because it has not been liberated.”[33]
Dalam pernyataan ini tergambar bagaimana pemahaman Calvin mengenai keterikatan kehendak bebas, bukan keterikatan dalam pemahaman Luther, namun keterikatan atau ketidak bebasan kehendak terjadi ketika seseorang ingin melakukan yang baik. Keterikatan ini terjadi sebab manusia telah melakukan perjanjian sehingga secara sukarela manusia memilih mendeterminasikan dirinya terhadap dosa, sehingga keberdosaan manusia itu dikerjakan secara sukarela dan secara sukarela membatasi kebebasan manusia untuk melakukan yang baik. Dalam hal ini, Calvin mencoba melihat kehendak bebas bukan sebagai kekuatan atau kemampuan untuk memilih namun sebagai kekuatan atau kemampuan untuk mengikat perjanjian yang kepadanya kehendak itu melakukan tindakan itu secara terus menerus, atau dalam bahasa bagian ini disebut Self-Determined. Disinilah keunikan Calvin melihat kehendak bebas sebagai satu kondisi bebas terhadap yang satu dan terikat kepada yang lain.
                                    VI.            Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa Calvin dan Luther mendasarkan pemahaman mereka kepada konsep Agustinus mengenai kehendak bebas. Meskipun demikian, baik Calvin dan Luther, memiliki penafsiran masing-masing dalam menggambarkan keterikatan dari kehendak bebas itu terhadap dosa. Jika dilihat, Luther cenderung menekankan bagaimana kehendak bebas itu sesuatu yang bisa dikatakan tidak bebas, sebab sifat kehendak bebas dalam naturnya hanya untuk kebaikan dan ketika jatuh dalam dosa kehendak bebas itu dimiliki dan diperbudak dosa. Dalam hal ini, Luther lebih melihat kehendak bebas sebagai kehendak yang bertuan yang di dalam kecenderungannya selalu memilih dan melakukan seperti apa yang tuannya kehendaki. Sedangkan bagi Calvin, kehendak bebas adalah kemampuan untuk membuat perjanjian dimana di satu sisi kita secara sukarela mengikatkan diri untuk secara bebas melakukan hal-hal yang kepadanya perjanjian itu dilaksanakan dan secara terbatas tidak melakukan hal-hal yang kepadanya perjanjian itu tidak dilaksanakan. Dalam hal ini, jika seseorang jatuh dalam dosa maka secara sukarela ia mengikat perjanjian dengan dosa dan dengan bebas ia melakukan tindakan dosa dan tidak bebas untuk melakukan yang baik. Demikian juga sebaliknya, jika manusia telah diselamatkan secara bebas manusia memiliki kebebasan untuk melakukan hal yang baik dan secara terbatas untuk memilih dosa.
            Dalam melihat perbedaan ini, penulis cenderung lebih setuju dengan Calvin, sebab penggambaran kehendak bebas sebagai binatang tunggangan yang dikontrol, akhirnya akan sulit memperlihatkan konsep kebebasan dalam memilih. Sebab konsep kehendak bebas sebagai kehendak yang bertuan, akan cenderung menyangkali kebebasan dalam diri manusia itu sendiri, karena secara langsung atau tidak langsung tindakan manusia selalu diarahkan oleh kecenderungan dari tuannya. Meskipun Calvin juga tidak menolak paham ini, namun cara Calvin menggambarkan jauh lebih halus dan lebih mudah untuk dijadikan argumen dalam menunjukkan kebebasan manusia. Sebab dalam perjanjian, artinya kehendak bebas itu secara sukarela menyetujui apa yang perjanjian itu katakan, sehingga ketika seseorang mengikat perjanjian dengan dosa, maka secara bebas dan sukarela kehendak bebas itu memilih dalam dirinya sendiri untuk melakukan dosa. Walaupun, di sisi lain Calvin juga menunjukkan adanya kecenderungan yang mempengaruhi, namun pembahasaan Calvin menolong untuk tidak memunculkan perdebatan yang lebih panjang.
            Dari penjelasan diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa kehendak bebas manusia pada mulanya diberikan Allah untuk memuliakan Allah dan berelasi dengan Allah secara bebas dan sukarela. Namun setelah kejatuhan dalam dosa, kehendak bebas telah mengikat perjanjian secara sukarela dengan kuasa dosa sehingga kehendak bebas manusia secara bebas selalu memilih berbuat dosa dan dibelenggu agar tidak dapat melakukan hal yang baik. Akan tetapi, melalui anugerah Allah, perjanjian yang telah diciptakan ini dibatalkan oleh Allah, sehingga kini manusia yang ditebus dapat mengikat perjanjian dengan Allah dan memiliki kebebasan untuk berbuat baik dan melayani Allah dengan kehendak bebasnya. Meskipun demikian, karena Image of God ini rusak, maka kehendak bebas manusia masih dalam kondisi lemah untuk dapat secara independen melawan kuasa dosa, disinilah anugerah Allah yang efektif menolong manusia yang telah ditebus untuk dapat secara efektif menggunakan kehendak bebasnya dan melakukan tindakan baik secara sukarela oleh karena kasihnya kepada Allah. Akhir kata, baik dalam kehendak bebas maupun dalam pengaturan Tuhan, Anugerah Allah selalu bekerja di dalamnya untuk membawa manusia kepada tujuan Allah yang sudah Allah tetapkan dalam diri manusia. Sehingga, baik memiliki kehendak  bebas yang bertuan maupun kehendak bebas yang berdasarkan perjanjian, semua tindakan kita hanya untuk kemuliaan Allah dan untuk mengabarkan kebesaranNya kepada seluruh dunia. Soli Deo Gloria….



[1] Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis tentang Makhluk Paradoksal(Jakarta: Gramedia, 1984), 111.

[2] Lihat John Martin Fischer, dkk., Four Views on Free Will( Oxford: Blackwell, 2007).

[3] Lihat Nancey Murphy, dkk., Downward Causation and the Neurobiology of Free Will(Pasadena, California: Springer, 2009)

[4] Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed.3., s.v. “hendak”.

[5] Jonathan Crowther, Oxford Advanced Learner’s Encyclopedic Dictionary., s.v. “will”.

[6] Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed.3., s.v. “bebas”.

[7] Crowther, Oxford Advanced Learner’s Encyclopedic Dictionary., s.v. “freedom”.

[8] Fischer, dkk., Four Views on Free Will, 7.

[9] Fischer, dkk., Four Views on Free Will, 85.
[10] Gerard O’ Daly, David Furley. Ed.,”Augustine”, Routledge History of Philosophy Vol II(New York: Routledge, 1999), 390.

[11] Augustine, On the Free Choice of the Will, Ed. Peter King, Terj. Peter King(Cambridge, New York: Cambridge, 2010), 1.3.6.15.

[12] Augustine, On the Free Choice of the Will, 1.1.2.6.
[13] Augustine, On the Free Choice of the Will, 1.11.21.76.

[14] Augustine, On the Free Choice of the Will, 1.16.34.114.

[15] Augustine, On the Free Choice of the Will, 2.1.3.6.

[16] Robert A. Peterson, Election and Free Will(Phillipsburg, New Jersey: P&R Publishing, 2007), 19.
[17] Alister E. McGrath, ChristianTheology: An Introduction 2nd Edition(Oxford: Blackwell, 1997), 427.

[18] Augustine, On the Free Choice of the Will, 2.11.30.124.

[19] Augustine, On the Free Choice of the Will, 3.2.4.14.

[20] Jasper Hopkins, “Augustine on Foreknowledge and Free Will in International Journal for Philosophy of Religions. Volume 8, Issue 2(Juni, 1977).
[21] Martin Luther, The Bondage of The Will, Ed. Ernst F. Winter, Terj. Ernst F. Winter(New York: Continuum, 2002), 664.

[22] Martin Luther, The Bondage of The Will, 638.
[23] Martin Luther, The Bondage of The Will, 664.

[24] Martin Luther, The Bondage of The Will, 767.

[25] Martin Luther, The Bondage of The Will, 661.
[26] Martin Luther, The Bondage of The Will, 615.

[27] Paul Helm, Faith and Reason(New York: Oxford University, 1999), 141.
[28] John Calvin, The Bondage and Liberation of the Will, Ed. A. N. S. Lane, Terj. G. I. Davies(Grand Rapids, Michigan: Baker Books, 1996), III. 299.

[29] John Calvin, The Bondage and Liberation of the Will, III. 299.
[30] John Calvin, The Bondage and Liberation of the Will, III. 300.

[31] John Calvin, The Bondage and Liberation of the Will, III. 310.
[32] John Calvin, The Bondage and Liberation of the Will, III. 310.

[33] John Calvin, The Bondage and Liberation of the Will, III. 303.